Wednesday, February 24, 2016

Stigma Terhadap Polisi

8:09 PM


Oleh: Moh Wahyudi

Selain polisi sebagai penjaga keamanan masyarakat  (guard of public security), tidak sedikit daya pikir umum masyarakat mengarah pada “Polisi Mata Duitan” karena kerapnya oknum polisi melakukan tilang yang tidak proporsional. Stigma lain yang tidak kalah miringnya adalah tentang represifnya polisi dalam konflik KPK vs POLRI (Politisasi kasus). 

Segala hal yang berbau polisi menjadi sesuatu yang menakutkan (phobia), semisal seorang warga Ibu Kota yang dibuat pingsan akibat aksi tilang-menilang yang dilakukan anggota polisi, serta seorang warga yang pura-pura gila agar dapat lolos dari tilang polisi. Peristiwa tersebut menorehkan narasi tentang “Polisi Momok” dari pada “Polisi Sosok” di tataran masyarakat.

Harus diakui dan disadari dengan sesadar-sadarnya bahwa asumsi minor masyarakat terhadap polisi bukan cerita fiktif atau seperti hikayat Rahwana di cerita pewayangan. Setidaknya lembaga survei dan media ternama-kredibel di Indonesia mengamini terhadap kondisi dan kinerja institusi kepolisian secara umum bahwa mereka merupakan institusi dengan kinerja kurang dipercaya (LSI/01/15).

Persoalan polisi hari ini harus dipandang komprehensif. Stigma  “Polisi Mata Duitan”, “Polisi Tilang”, dan “Raport Merah Polisi” hanyalah bagian terkecil dari narasi sebenarnya. Bagi kalangan terkecil masyarakat, tidak cukup memberi stigma terhadap polisi dengan berdasarkan cerita dan tuturan mulut ke mulut, bahkan sangat naïf kalau asumsi demikian teramini oleh civitas academica yang notabennya mereka sangat hati-hati dalam mendiskusikan dan menyatakan sikap terhadap segala persoalan.

Kuasa stigma yang menempatkan kepolisian sebagai institusi low profile dan polisi sebagai momok, terutama di bagian masyarakat terkecil merupakan asumsi pinggiran yang terlalu inklusif  untuk membaca “Polisi Sosok”. Jenderal Hoegeng mantan Kapolri (1968-1971) adalah simbol polisi berintegritas, kharismatik, jujur dan sederhana. Bahkan Allahummaghfirlah Gusdur pernah melontarkan guyonan tentang integritas polisi ini, bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, satu patung polisi, kedua polisi tidur, dan ketiga polisi Hoegeng. Di awal tahun 2015 berita pertelevisian digemparkan dengan sosok polisi miskin-teladan, Bripda Taufik, seorang polisi sederhana yang hidup di bekas kandang kambing bersama ayah dan tiga adiknya, atau aksi koboi polisi yang berhasil mengamankan negara dari aksi anarkisme terorisme di Sarinah beberapa waktu lalu.

Cerita dan track record di atas adalah sebagian sisi lain atas stigma buruk terhadap polisi serta naifnya daya pikir masyarakat untuk melihat “Polisi Sosok”. Premis di kalangan polisi harus dipandang sebagai oknum dari sekian anggota polisi di Republik ini. Buku karangan Yushasni dan Arifin Saleh Siregar dengan judul Oegroseno: Pengabdian Polisi tidak Kenal Lelah adalah salah satu upaya mengeliminasi negative stereotype tentang polisi yang saat ini menjamur di kalangan masyarakat luas. Setidaknya membaca buku ini akan me-refresh daya pikir pembacanya agar tidak stagnan pada sifat suudzon yang hanya berdasar pada cerita-tutur mulut ke mulut.

Tentu saja, integritas polisi dan prestasi polisi yang tergambar di atas tidak serta-merta membebaskan phobia dan alergi masyarakat seutuhnya terhadap citra polisi. Apalagi menjadikan polisi inklusif untuk melakukan restorasi dan reformasi. Pembenahan di tubuh institusi guard of public security itu perlu dicanangkan di tengah pesoalannya, terutama dalam membangun personalia keanggotaan; polisi perlu melakukan pendekatan yang lebih komprehensif kepada masyarakat dan menumbuhkan sikap integritas yang tidak perlu menunggu orang lain (masyarakat) menilai atas kinerjanya, apalagi menunggu momentum kelahiran institusi tersebut. Bertahap dan Perlahan pembenahan tersebut harus dilaksanakan.

Menjadikan kepolisian sebagai institusi kredibel menjadi harapan warga negara dan sekaligus tantangan berat bagi para anggota polisi di tengah kuasa para oknum yang tumbuh liar di tubuh institusi tersebut. Tantangan tersebut bukan hal sulit jika barisan para jenderal mempunyai tekad dan misi linier dengan harapan masyarakat terhadap institusi ini, namun jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan stigma masyarkat akan tetap berlanjut bahkan institusi ini akan semakin terpinggirkan dalam melaksanakan kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang selama ini kerap menyulut konflik antara dua lembaga penegak hukum sejak satu dekade terakhir.[]

Penulis adalah Pemerhati Hukum dan Konstitusi di ROEANG inisiatif,
saat ini aktif di Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) D.I. Yogyakarta.

sumber gambar:
Polisi Cilik Darmayu, by Yulian Hendriana

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top