Sunday, January 3, 2016

Mana Yang Bahasa Asing?

12:03 PM


Oleh: Yusroful Kholili

Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) telah selesai saya jalani di MA Raudlatul Ulum Ganjaran Gondanglegi Malang. Banyak pengalaman menarik yang saya temui selama Praktik di Sekolah Berbasis Pesantren tersebut. Memang, pendiri awal sekolah ini adalah para kiai pesantren seperti KH. Bukhori Isma’il, KH. Yahya Syabrowi, dll. Tradisi belajar a la pesantren, seperti bandongan dan sorogan, masih dipertahankan sampai kini.

Sebagai informasi, siswa MA Raudlatul Ulum berasal dari berbagai daerah, di antaranya Malang, Surabaya, Madura, Pontianak, dll. Bahkan Pontianak, daerah terjauh dibanding daerah asal lain, menjadi daerah terbanyak penyuplai siswa di sekolah ini. Dengan asal daerah yang beda, bahasa sehari-hari siswa beragam pula. Ada Madura, Jawa, dan Melayu. Meskipun bahasa paling belakang disebutkan paling jarang terdengar. Ya, satu lagi bahasa yang sering didengar, biasanya kita sebut saja dengan bahasa Jawa Sasa’an. Bahasa ini sangat akrab dengan siswa karena satu-satunya bahasa yang digunakan saat memaknai kitab kuning. Bahasa ini dipahami, namun dari mana bahasa ini berasal, saya yakin tidak sedikit dari siswa MA RU yang tidak tahu, yang berasal dari suku Jawa sekalipun. Termasuk penulis sendiri.

Nah, terkait dengan masalah bahasa, pengalaman ‘menarik’ penulis temui saat pelakasanaan PPL di MA RU. Jika disusun, kira-kira ceritanya begini:

Suatu kali, saya masuk kelas X (identitas khususnya tidak perlu disebutkan di sini) yang sedang tidak ada gurunya. Saya nyelonong masuk, tahu-tahu ketepatan waktunya jam pelajaran Bahasa Inggris. “Wah, saya jurusan PAI, orang madura lagi. bagaimana mungkin ‘menggurui’ pelajaran bahasa inggris?” pikirku sesaat. Tapi saya terlanjur memperlihatkan muka, lengkap dengan atribut Mahasiswa Praktikan. Apa boleh buat, saya harus mengisi. Tidak bisa tidak.

Secepat kilat, saya paksa otak searching jalan. Tidak lama kemudian permainan yang saya sebut dengan‘ Kereta Kata’ muncul sebagai jalan alternatifnya. Paling tidak bisa mengisi sampai bel pergantian jam. Pembelajaran dengan menggunakan  aturan main Kereta Kata saya tawarkan, meskipun ujung-ujungnya tidak bisa ditawar-tawar.  Saya aturkan peraturan mainnya. Di depan mereka saya jelaskan, “Saya akan menunjuk seseorang untuk menyebutkan satu kata, kemudian saya akan menunjuk peserta yang lain untuk menyebutkan kata yang huruf awalnya merupakan huruf akhir dari kata yang disebutkan oleh peserta yang saya tunjuk sebelumnya.” Misalnya, peserta yang ditunjuk pertama menyebutkan kata “aku”, peserta kedua akan meneruskan dengan menyebut kata “ujian”, peserta ketiga meneruskan dengan “ nasi”, dan begitu pun selanjutnya sampai masing-masing peserta menyebutkan kata lanjutannya. Dari kata “aku” diteruskan menjadi “ujian”,  dari “ujian” dilanjutkan menjadi “nasi”, dan seterusnya”. Tidak ketinggalan, sanksi akan diberikan kepada siswa yang tidak dapat melanjutkan kata.  Semua paham dan sepakat.

Untuk percobaan, permainan kata Bahasa Indonesia pun dimulai. Permainan berjalan lancar, tidak satupun peserta yang kesulitan untuk meneruskan kata-kata peserta sebelumnya. Selanjutnya permainan dilanjutkan dengan kosakata Bahasa Inggris. Misal kata “say” menjadi “you” kemudian “uncle” dan seterusnya. Di awal-awal sesi, permainan berjalan agak lambat. Setiap peserta yang ditunjuk terlihat ada jeda berpikir huruf akhir peserta sebelumnya (misal, huruf “i” ataukah “e” akhir dari kata “see” itu?), sebagai penentu kata selanjutnya yang akan disebutkan. Sekitar  30 menit “Kereta Kata” Bahasa Inggris berputar dengan lancar. Bahkan peserta antusias sekali melanjutkan deretan kosakatanya. Harapan permainan untuk segera terputus tidak nampak. Terkejut dan senang terpancar dari air muka peserta saat aku menunjuknya untuk melanjutkan “kata” sebagai deret gerbong kereta selanjutnya. Asyik.

Permainan kata sudah berjalan di putaran ketiga. Namun, tidak satupun hukuman dibagian, lantaran kata demi kata dilanjutkan dengan baik. Saya pun berpikir untuk mengubah kosakata permainan. Dari Bahasa Inggris ke bahasa lokal.  Melihat  daerah asal peserta didik berbeda, ada dua bahasa daerah yang mereka kuasai. Mereka yang berbahasa Madura paham dengan bahasa Jawa, yang berbahasa Jawa paham dengan bahasa Madura, meskipun sebatas pendengaran. Dalam berucap, hanya sebagian kecil yang sudah menguasai. Dengan itu, Bahasa Jawa dan Bahasa Madura sekaligus, menjadi bahasa permainan yang saya pilih. Aturan main lebih dikendorkan, yang biasa berbahasa Madura menyebutkan kata lanjutan dengan kosakata Madura, begitupula bagi yang berbahasa jawa.

Aturan  saya utarakan. Sebagian siswa masih belum yakin akan keseriusan saya untuk melakukan permainan itu. Komentar “malu, pak” terlontar dari salah satu siswa, kemudian bersambut gelak tawa mengiyakan dari  yang lain—kebanyakan suara tawa ini bermuasal dari siswa yang duduk di kursi belakang. Sebagian lain—sebagian besar dari mereka duduk di kursi depan, mejanya berdekatan dengan meja guru—hanya memilih diam. Saya jelaskan bahwa permainan terakhir ini diniati  untuk  menghormati Bahasa warisan nenek moyang. Karena itu, tidak ada sanksi bagi yang gagal melanjutkan dengan bahasa daerah masing-masing. “Pola permainan terakhir ini juga bertujuan untuk mengasah kosakata bahasa daerah,” saya meyakinkan mereka. Dan mereka sepakat.

Saya mulai permainan dengan menyebutkan kata “tak ollé agejek” sebagai kata permulaan, kemudian dilanjutkan oleh siswa yang ditunjuk. Lanjutan kata yang munculpun bervariasi, kadang berbahasa Madura, kadang bahasa Jawa, tergantung bahasa asal peserta yang ditunjuk. Kadang kata “agejek” bersambut kata “konco”, lalu berlanjut dengan kata “ongguen” dan seterusnya. Jangan dibayangkan lanjutan kata keluar dengan mulus. Lanjutan kata akan muncul setelah menunggu kejelasan huruf akhir kata sebelumnya. Setelah jelas huruf akhirnya, permainan masih harus mandek di lampu merah selanjutnya, siswa yang ditunjuk mengernyutkan dahi, cerminan  otaknya berputar-putar mencari kata yang berasal dari huruf akhir kata yang baru saja di sebut. Saya pun harus sabar menunggu kata yang akan diucapkan, lebih sabar dibanding menuggu lanjutan kata di  permainan sebelumnya. Permainan Kosakata bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris sekalipun.

Permainan kata berjalan terseot-seot. Tambah lama, lanjutan kata muncul tambah alot. Hanya saat bel pergantian jam berbunyi, permainan saya akhiri. Kealotan ikut terhenti. Saya beranjak keluar kelas. Rekaman permainan yang baru saja di akhiri masih berputar di otak. “Kenapa bahasa sendiri  lebih sulit pencarian kosakatanya di banding dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris? Aneh!” pikirku sambil terus meyeret kaki menuju kantor madrasah. Masuk kantor pikiran lebih tertarik pada secangkir kopi. Sedang rekaman permainan kata di kelas, perlahan musnah bersama asap rokok yang aku kepulkan.

Di lain waktu, saya berkesempatan masuk kelas lain untuk mengisi mapel bahasa Inggris. Permainan di atas aku mainkan kembali. Sama persis. Jalannya dan antusiasmenya. Hanya saja saat aku utarakan untuk berpindah ke bahasa daerah, lontaran kata ‘malu’ dan kurang ‘seru’ menanggapi ajakan saya. Khawatir kejadian serupa —menunggu dan alot jalannya—di kelas sebelumnya terulang. Aku turuti permainan kata bahasa daerah tidak terjadi.

Dari pengalaman itu, aku mulai bertanya pada pikiran sendiri, “Apakah mereka mulai malu untuk menggunakan bahasa sendiri dalam forum formal? Atau, minimnya pengetahuan kosakata dan gramatikal bahasa daerah mereka alami? Aneh!” bisikku pada angin. Pikirku mulai berjejal untuk menghakimi mereka. Sebelum penghakiman semakin mendalam ke arah mereka, kubanting setir untuk menghakimi diri sendiri. Sesaat, khayalanku berputar dalam ingatanku tentang perkenalanku dengan bahasa.

Seingatku, bahasa Madura merupakan satu-satunya  bahasa yang aku dengar sejak di lingkungan keluarga. Lebih dari itu, Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari bapak dan ibu.  Selanjutnya saat bersama dengan teman sebaya, tetangga dan keluarga di perantauan, bahasa Jawa juga mulai akrab terdengar. Meskipun di masa ini bahasa Madura masih menempati peringkat satu. Di saat memasuki dunia sekolah dasar kedudukan bahasa Madura dan Jawa berimbang. Bahasa Indonesia, masih asing sama sekali.

Baru saat masuk bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) saya mulai bertemu dan berkenalan dengan bahasa Indonesia.  Bahasa Indonesia berangsur akrab di telinga sebatas di dalam kelas saja. 6 tahun di sekolah dasar Bahasa Indonesia mulai sering diperdengarkan baik oleh guru atau TV.

Kini bahasa Indonesia telah akrab didengar sehari-hari, bahkan berposisi sebagai bahasa  utama saat berkomunikasi. Gramatikal-nya  telah dipelajari—dari MI sampai bangku kuliah—sampai  titik penyempurnaan, meskipun tidak sempurna betul. Posisinya sebagai bahasa utama di media sosial dan media lain, setidak-tidaknya telah nyenggol  bahasa Madura dan Jawa sebagai bahasa ibu. Khususnya bagi penulis.

Saat-saat akhir belajar di MI, bahasa Inggris datang sebagai bahasa asing kedua dalam hidupku. Di MI, saya tidak punya waktu panjang untuk mengenal lebih bahasa asing ini. Baru saat duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) kesempatan untuk mengenal bahasa Ingris mulai saya dapatkan. Cara bacanya, gramatikalnya memang salah satu pelajaran wajib di SMP. Bahkan kategori pelajaran yang di ujikan di UN (ujian Nasional). Saya  harus mempelajari. Mau tidak mau.

Saat SMP, Gramatikal bahasa Jawa lengkap dengan aksaranya baru saya dapati. Pembelajaran bahasa sendiri (Jawa), dan bahasa asing (Inggris) sama-sama baru dapat saya pelajari di bangku yang sama. Hebatnya lagi, pembelajaran bahasa ibu berada  di muatan lokal, dan bahasa Inggris berposisi sebagai penentu kelulusan. Saat mengingat hal ini, pikiran”aneh, bukan?” mengusikku.

Bahasa Inggris juga aku dekati bagian-bagiannya. Kosakatanya, sedikit-banyak bisa penulis raba-raba untuk dibaca dan diterjemah. Meskipun untuk mengucap  dan mendengar masih sulit. Meskipun begitu, setidaknya bentuk-bentuk regular-irregular verb-nya masih mudah dikenali dibanding saat berhadapan dengan aksara Jawa.

Sedang bahasa Jawa sendiri, hanya sebatas digunakan saat komunikasi dengan teman sebaya, itupun dengan bahasa ngoko. Kromo Alus, Kromo Inggil, bahkan Tembung Lingga dan Andhahan sudah lenyap dalam ingatan. Jangankan untuk memahami aksaranya, ater-ater-nya dan kaidah-kaidahnya pun musnah. Istilah-istilah gramatikalnya saja betul-betul tidak paham. Meskipun pernah kenal, mungkin hanya sebatas istilah untuk hafalan semata. Tulodho-nya, tembang-tembang sastranya sulit ditemui di bangku sekolah. Lain halnya dengan bahasa Madura yang hanya ambil bagian untuk dipakai untuk komunikasi lisan sehari-hari. Lain tidak.

Inilah yang dialami penulis. Mungkin, juga dialami pelajar di sekitar kita. Jika demikian adanya, tidak dapat kita sangkal bahwa yang asing (bahasa Inggris) makin dekat, bahasa pribumi—warisan nenek moyang semisal bahasa Jawa, Madura, Melayu, dan lainnya—makin asing. Lantas, bahasa manakah yang lebih asing?

Penuturan  di atas sebagai bahan refleksi atas  pengalaman pribadi. bukan hendak mengurangi ghiroh membekali diri dan memahami bahasa Inggris. Apalagi bahasa Indonesia. Sama sekali tidak.[]


sumber gambar: aboutworldlanguages.com

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top