Thursday, December 17, 2015

Menumbuhkan Opini Cerdas

9:53 AM


Oleh: Muhammad Zeini

Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argument yang selalu diajukan lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang tertanam di kepala kita. Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai seratus persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi buta yang tertanam di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kebutaan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.

Anatomi Persepsi.
Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Dari mana asal persepsi yang tertanam di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita baca.

Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Namun, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita. Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang tertanam di kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya adalah kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan yang ada.

Menurut hemat saya, pra-paham sesat yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama sekali tak menyadarinya. Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa terjajah. Hegemoni itu adalah teknik menipu tingkat global, namun tak pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta dan pelaku hegemoni ini?

Hegemoni Media.
Media massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.

Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi identitas sosial suatu kelompok.

Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang, hanya karena ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun, pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.

Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di Indonesia yang lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak orang di bagian dunia lain meninggal, karena tidak memiliki sumber air bersih yang mencukupi.

Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan kebencian. Kebencian tersebut akan melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi yang salah tersebut. Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya memperkuat prasangka yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.

Menumbuhkan Opini Cerdas.
Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu, jawabannya adalah positif. Masalahnya bukanlah hidup tanpa persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya bukanlah tidak punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.

Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Kita perlu melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.

Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan disini. Informasi adalah salah satu kebutuhan utama manusia sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar atau pembacanya.

Sebagai warga dari masyarakat demokratis, kita perlu mempunyai opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang tertanam di otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti Indonesia.

Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar disini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas.[]

sumber gambar: enterpriseisrael.org.il

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top