Wednesday, December 9, 2015

Buah Hatiku

2:25 PM


Oleh: Muhammad Madarik

Anakku...
Terlalu nista untuk kau lalai.
Perjuangan yang dikorbankan dan pengorbanan yang diperjuangkan.

Dalam puisi ini, penulis berposisi sebagai orang tua yang tengah memberikan petuah-petuahnya. Penulis jelas menaruh harapan besar supaya dapat mewakili seluruh sosok yang telah melahirkan, merawat, memelihara, menjaga dan membesarkan segenap anak-anak. 

Penulis memulai puisi ini dengan kalimat ajakan agar semua anak-anak mau menyegarkan ingatan untuk sekali-kali tidak melupakan jasa-jasa orang tua. Kalimat itu digambarkan dengan kata "lalai". Terperosok ke dalam kubangan kehinaan bagi seorang anak yang tidak berupaya melawan lupa, apalagi dengan sengaja menutup mata dan memalingkan pandangannya untuk menghitung jerih payah kedua orang tuanya.

Betapa tidak, seperti yang diungkapkan penulis bahwa "perjuangan yang dikorbankan" memaknai hidup orang tua merupakan hiasan seluruh perjuangan yang diserahkan dengan serta merta tanpa pamrih. Jelas, sebuah perjuangan yang berakhir bukan kembali pada kepentingan dirinya. Beban menjadi orang tua masih diperparah dengan apa yang dilukiskan penulis "pengorbanan yang diperjuangkan". Bagi kebanyakan orang, pengorbanan akan dilakukan jika sebuah kepentingan benar-benar merupakan pokok transaksional, hatta kepada Tuhan-pun mayoritas pengorbanan manusia harus ditukar dengan pahala, surga atau keutamaan-keutamaan yang dijanjikan. Tetapi bagi kedua orang tua, pengorbanan merupakan sebentuk sikap rela tak berhingga terhadap suatu konsekuensi yang paling nihil sekalipun demi membela eksistensi sang anak.

Apabila pengorbanan dan perjuangan telah luput dari perhatian sang anak, kendati ukuran lupa yang sangat minimal, yaitu tanpa sengaja, maka ia sudah sangat pantas dituding sebagai seorang bocah yang terjerembab dalam kategori "tidak tahu diri" sebagaimana gambaran penulis "terlalu nista".

Engkau dikandung dalam hitungan tak berjangka.
Lelah sekujur tubuh ini benar-benar telah melanda.
Fikiran kalut terombang-ambing di sela-sela was-was dan asa.
Kesedihan menyelimuti segenap yang ada.
Hanya harapan menjadi satu-satunya tiang penyangga.

Pada bait ini, penulis mulai merinci pengorbanan dan perjuangan seorang ibu yang dilakukan dalam hidupnya. Dalam jangka waktu seputar sembilan bulan, ia harus bergulat dengan kehamilan. Tentu banyak kelebihan dirinya tertindih; kecantikan yang selama ini dibanggakan nyatanya bisa terbungkus oleh kegemukan akibat mengandung, kemolekan lekuk tubuh yang sebelumnya dipamerkan dapat rusak oleh perut yang terus saja membuncit, dan kelincahan yang mewarnai setiap langkahnya rupanya tergantikan oleh ayunan yang kian terseok. Apalagi berniat mempertontonkan potensi di setiap kujur badannya, hendak menyaksikan diri sendiri saja ia harus menghela nafas panjang. Sang ibu bukan saja tak berdaya secara fisik, tetapi juga lunglai secara psikologis, sebagaimana diungkapkan penulis dengan kata "lelah sekujur tubuh" dan "fikiran kalut". Belum lagi jika wanita hamil terkena kebiasaan "ngidam" sesuatu yang tidak pada musimnya, lengkap dengan mitos bahwa apabila tidak keturutan, si bayi akan ngiler, tidak hanya menjadikan calon ibu itu yang repot, tetapi seisi rumah akan blingsatan. Tidak enak makan, dan bahkan muntah-muntah meski sesuap nasi acapkali mendera keseharian kaum hawa yang tengah berbadan dua.

Penderitaan psikis kian menumpuk tatkala perasaan syak wasangka antara optimisme dan pesimisme muncul begitu saja selalu menghantui di saat kelahiran nanti, seperti diuraikan penulis dalam kalimat "terombang-ambing di sela-sela was-was dan asa".

Kalaulah bukan karena cita-cita suci ingin merawat dan mengantarkan cabang bayi menjadi manusia utuh dan sempurna, mungkin rasa optimis sang ibu hanyalah merupakan perasaan membual belaka. Andai bukan sebab kasih sayang yang diselipkan Tuhan dibalik asa itu, maka aborsi merupakan jalan pintas yang dipilih banyak perempuan hamil, mengingat kenikmatan yang diperoleh tak sebanding dengan kesengsaraan yang dipikul. Hal ini dapat diamati dalam kata "hanya harapan menjadi satu-satunya tiang penyangga".

Engkau menjelma menjadi malaikat kecil yang terlahir.
Bersama darah dan peluh yang mengalir.
Pertaruhan hidup dan mati di ujung garis takdir.
Jerit serta suara tangis menyeruak bagai petir.

Kini, saat yang didamba telah tiba, sang bayi telah lahir ke alam dunia. Senyum renyah dalam bibir serta wajah cerah sang ibu bak menjadi sambutan hangat bagi makhluk baru ini. Ucapan "selamat" dari sekeliling bagai penghapus lara yang sedang diderita, tak peduli bentuk rupa bagaimana yang terpenting ia telah terlahir. Beginilah yang dimaksud penulis dalam kalimat "engkau menjelma menjadi malaikat kecil yang terlahir".

Tetapi setiap anak haruslah ingat bahwa dibalik wujudnya terdapat pedih tiada terkira, dan perjuangan panjang yang berpenghujung diantara dua pilihan; hidup atau mati. Jika seutas senyum dari bibir sang ibu mampu ditebar kala bayi telah lahir, itu merupakan gambaran puncak kebahagiaan yang didapat meski jerit kesakitan tak berukur menjadi keharusan. Andai saja Tuhan memberi pilihan, maka sang ibu akan lebih menunjuk diri yang sekarat ketimbang menyaksikan sang bayi harus meregang nyawa. Abstrak ini bisa dicermati mulai dari kata penulis "darah dan peluh yang mengalir", sampai kalimat "jerit serta suara tangis menyeruak".

Tangan lembutmu menopang raga lucumu dengan tertatih.
Namun bersama sayangku, kau tegarkan kaki meski berlatih.
Mulut mungilmu mengeja aksara.
Tetapi beserta kasihku, kau piawai menyusun kata.
Akal picikmu tak sanggup temukan Maha Kuasa.
Hanya berkat ketulusanku, kausembah Sang Esa.

Bait-bait ini menguraikan tentang kesetiaan orang tua memelihara dan mendidik putranya. Lihatlah! Betapa jemari kecil itu awalnya merangkak, tetapi seorang bocah mampu berdiri dengan dua kaki berkat tangan-tangan lembut sang ibu dengan berjuta-juta kasih sayang.

Sungguh luar biasa peran orang tua, terutama ibu, menciptakan anak-anaknya menjadi pintar dari bodoh. Bayangkan! Dari keadaan buta huruf dan membaca hanya terbata-bata bisa berbalik menjadi fasih mengeja hingga piawai membentuk kata-kata indah tidak lain akibat sang ibu yang memiliki ketabahan tiada banding.

Dan yang lebih mencengangkan lagi dari jasa tak terbalas adalah karena orang tualah anak-anak dapat menemukan sinar ketuhanan setelah sebelumnya ia bagai semut hitam di tengah ruang gelap.

Cermati! Semenjak dalam kandungan,  kedua orang tua selalu berhati-hati dalam setiap melakukan tindakan. Sang ayah tidak akan mendulang rupiah, jika jaminan kehalalannya terbaca remang-remang meskipun peras keringat dan banting tulang harus dijalani. Sementara sang ibu rela berbasah-basah air wudlu, walaupun dingin malam begitu sangat menusuk. Ketika cabang bayi telah lahir, suara adzan dan iqamah seorang bapak bakal dikumandang di gendang telinganya, kendatipun fikiran mulai dipusingkan oleh biaya persalinan. Waktu berangkat ke sekolah dasar, dengan setia ibu mengurus persiapan dan bahkan mengantarkannya tanpa berfikir tangan dan kakinya mulai gemetar akibat sekujur tubuhnya sudah terasa letih. Tak cukup itu, hingga dewasa, sang ayah selalu menyanggupi seberapapun isi dompet terkuras hanya supaya sang anak bisa melewati gelar lulusan.

Seluruh jerih payah orang tua yang dikerjakan hanyalah diperuntukkan buat putra-putrinya agar mereka mengenal siapa Tuhannya dan agama sebagai tonggak peradabannya.

Anakku...
Aku buka lembar agenda untukmu.
Jasa tak kuhutangkan padamu.
Budi tak kan pernah ditukar oleh dayamu.
Aku tak mengemis darimu sebuah jatah, kau bangun istana megah, atau kau julurkan rupiah.

Mulailah penulis mencoba menyentuh relung hati melalui panggilan sayang "anakku". Di sini penulis mengajak anak-anak supaya menyadari bahwa bobot pengorbanan dan perjuangan kedua orang tua jangan pernah ditakar. Sebab, sejahat apapun karakter orang tua, sekali-kali tidak akan mengungkit jasa-jasa yang telah mereka berdua lakukan. Tidak akan pernah! Kalaupun ditemukan orang tua menuntut seluruh budi yang telah diberikan kepada anaknya, maka anggapan yang seolah-olah menggenalisir sebuah kasus wajib dijauhi.

Seumpama kedua orang tua menagih jasa-jasa yang diserahkan kepada anaknya, percayalah bahwa senoktah balas budi terhadap mereka berdua tak akan pernah terlunasi. Andai uang tak terhitung jumlahnya ditumpuk, dan berkeping-keping emas menggunung ditata, lalu disuguhkan ke haribaan orang tua, maka pada sedetik kasih sayangnya saja belum terbayarkan.

Cukup kau jadikan kalimatku sebagai titah, kau tak perlu berlagak gagah, dan jangan membuat aku susah.

Pada bait ini, penulis mengungkap hal yang pasti dirasakan oleh semua orang tua. Tiada kebahagiaan paling besar di dunia ini kecuali senyum mereka tatkala menemukan anaknya selalu tunduk kepada mereka. Sebaliknya, tak ada malapetaka yang dahsyat melebihi ketika segenap orang tua menyaksikan anak-anaknya mendurhakai mereka, walau hanya dengan sepotong kata "huh!" yang diucapkan dihadapan orang tuanya.

Anakku...
Doaku bagimu adalah titian bahagiamu.
Tawaku untukmu adalah senyum Tuhanmu.
Wujudku buat dirimu adalah kunci sorgamu.

Kembali penulis menggunakan panggilan kesayangan untuk membuat seorang anak lebih serius memperhatikan bait-bait ini.

Untaian permohonan para orang tua untuk anak-anak mereka bagai sabda Nabi yang tidak akan pernah terhalang oleh apapun. Doa-doa mereka sejajar dengan munajat Rasul yang mampu menembus pintu Arasy Ilahi.

Ridla mereka untuk anak-anaknya merupakan tanda perkenan Tuhan. Kemarahan mereka bagi anak-anaknya cerminan kemurkaan-Nya.

Orang tua buat anak-anaknya adalah lorong menuju ketenangan abadi. Bahkan di bawah telapak kaki ibu keagungan sorga berada.

Anakku...
Merangkaklah. Niscaya ku dekap tubuhmu.
Ciumlah telapak kakiku. Pasti ku kecup keningmu.

Di akhir puisi ini, penulis menutupnya dengan dua bait yang diawali dengan julukan kesayangan. Bait-bait ini seakan menjadi seruan perdamaian antara orang tua dan anaknya.

Orang tua bijak pasti membuka kedua lengannya untuk mendekap anaknya sekalipun tumpukan dosa-dosanya terhadap orang tua telah menggunung.

Kasih sayang orang tua tidak bisa  dipungkiri akan sebanding dengan butiran bening air mata anak-anaknya.[]

sumber gambar: lockerdome.com

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top