Saturday, October 24, 2015

Kharisma Kiai dan Kepemimpinan Pesantren

7:38 PM


Oleh: Muhammad Zaini

Sebagai pimpinan dan sekaligus pengasuh pesantren, seorang kiai sangat menentukan dan mewarnai pembentukan tipologi pondok pesantren yang tercermin dalam pola hidup keseharian para santri dan komunitas dalam pondok pesantren tersebut.  Karena itu, menurut Mujammil Qomar (Qomar, 2002: 64), karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui profil kiainya. Apabila Kiainya ahli fikih akan mempengaruhi pondok pesantrennya dengan kajian fikih, kiai ahli ilmu ‛alat‛ juga mengupayakan santri di pondok pesantrennya untuk mendalami  ilmu ‛alat‛, begitu pula dengan keahlian lainnya juga mempengaruhi idealisme fokus kajian di pondok pesantren yang diasuhnya.

Kepemimpinan seorang kiai sebagaimana yang telah digambarkan Ziemek (Ziemek, 1986: 138) adalah kepemimpinan karismatik yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola pesantren yang didirikannya, Kiai berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan di pondok pesantren. Pada sistem yang seperti ini, Kiai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Dengan model ini, kiai berposisi sebagai sosok yang dihormati, disegani, serta ditaati dan diyakini kebenarannya akan segala nasehat-nasehat yang diberikan kepada para santri. Hal ini dipandang karena kiai memiliki ilmu yang dalam (alim) dan membaktikan hidupnya untuk Allah, serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan.

Secara sosiologis peran dan fungsi kepemimpinan kiai sangatlah penting, Ia memiliki kedudukan kultural dan struktural yang tinggi di mata masyarakatnya. Realitas ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kepemimpinan kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas (Steenbrink, 1986: 109). Prinsip demikian singkron dengan argumentasi Geertz yang menunjukkan peran kiai tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai agen perubahan sosial (Social Change) dan perantara budaya (cultural broker).  Ini berarti, kiai memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya (Wahid, 1987: 200).

Pondok pesantren kalau boleh diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan pondok pesantren, karena itu kiai merupakan elemen yang paling esensial dari sebuah pondok pesantren. Imam Bawani mengatakan bahwa maju mundurnya suatu pesantren amat tergantung pada pribadi kiainya, terutama oleh adanya keahlian dan kedalaman ilmu agamanya, wibawa dan kharisma kiai serta keterampilannya dalam mengelola pesantrennya. Hal ini dikarenakan: pertama, Kiai dalam lembaga pesantren adalah elemen penting dan sekaligus sebagai tokoh sentral dan esensial, karena dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah pesantren (Bawani, 1997: 14).

Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kiai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem kemasyarakatan, keagamaan, kepribadian dan barangkali juga politik, menyebabkan kiai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang kelompok orang Islam yang disebut Clifford Geertz sebagai ‛abangan‛ secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai.

Di tengah krisis kepemimpinan, sistem pemerintahan dan kenegaraan Indonesia yang tidak memiliki moralitas cukup, pengembalian peran tokoh bermoral seperti kiai menjadi amat penting untuk tidak hanya menjadi penjaga moralitas umat, tetapi juga dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang mengedepankan karakter bangsa dan budaya religius.

Kepemimpinan kiai dalam pesantren merupakan salah satu unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau melakukan sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu.

Menurut Mastuhu, kepemimpinan kiai dalam pesantren dimaknai sebagai seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan (Wahid,  1987: 243). Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kiai di atas adalah suatu hal yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa? Karena kiai merupakan pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai karakteristik tertentu (yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan kepemimpinan di luar pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak otonom atas kerajaan yang dipimpinnya.

Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kiai sampai saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama (Islam). Oleh karenanya, kiai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kiai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transendental karena kedekatannya dengan sang pencipta. Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kiai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, pemerintahan dan lain sebagainya. Wallahu a’lam

Daftar Bacaan.
Bawani, Imam. 1997. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Qomar, Mujammil. 2002. Manajemnen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga..
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren,  Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abdurrahman. 1987. Principle of Pesantren Education, The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia.  Berlin: Technical University Berlin.
Zeimek. 1986. Pesantren dan perubahan sosial. Jakarta: P3M.

sumber gambar:

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top