Sunday, September 13, 2015

Sastra dan Jurnalisme, Sebuah Jalan Berkelok

6:16 PM

[sumber]
Oleh: Irham Thoriq 

Akhir-akhir ini, ketika informasi bisa didapat dengan sekali klik, Sastra dan Jurnalisme seolah sedang diuji. Dan ujian itu saya kira akan bermuara pada satu pertanyaan besar; mampukah Sastra dan Jurnalisme tidak membunuh dirinya sendiri?

Pertanyaan besar ini saya lontarkan karena dengan tumbuhnya media sosial dan media daring, informasi bertebaran tanpa ada penyaring. Bagi sastra, dengan banyaknya tulisan yang bertebaran, kita semakin sulit membedakan mana karya sastra yang benar-benar nyastra, atau karya sastra yang hanya mengandung gumam.

Bagi Jurnalisme, kita juga semakin sukar membedakan mana yang fitnah dan mana pula yang laporan Jurnalistik. Terkadang, karena mengejar kecepatan, disiplin verifikasi menjadi hal terpenting sekian yang dikesampingkan. Tak hanya itu, mutu Jurnalistik juga kian dipertanyakan ketika hanya ucapan orang yang terkadang itu hanya sebuah pecitraan, sudah dijadikan sumber utama berita.

Di sinilah tantangan itu muncul. Kepada Sastra, tantangan itu tidak hanya berwujud pada karya yang menarik, tapi bagaimana mengisi 'ruang kosong' yang tidak bisa dijangkau oleh Jurnalisme. Dan begitu sebaliknya, Jurnalisme harus mengisi apa yang tak bisa dilakukan oleh sastra. Kau tahu, bukankah Sastra dan Jurnalisme memang menyisakan celah yang mereka tinggalkan masing-masing.

Ada hal kecil dan remeh-temeh yang akan terlampau 'nyinyir' jika dijadikan laporan Jurnalistik. Sebagai contoh, beberapa minggu lalu saya melakukan reportase tentang maraknya kotak amal abal-abal yang bertebaran di rumah makan, tempat perbelanjaan dan sejumlah ruang publik di Kota Malang.

Salah satu yang saya liput adalah banyaknya kotak amal yang disebar dari musola yang ada di Jalan Muharto. Tak tanggung-tanggung, terdapat 50 kotak amal yang disebar oleh musola ini sejak tahun 2000 silam. Tentu saja, 15 tahun adalah waktu yang panjang untuk ukuran lembaga peminta sumbangan.

Berdasarkan temuan awal inilah, saya mengunjungi musola yang berada di gang sempit tersebut. Yang hendak saya sampaikan di sini bukanlah hasil reportase yang sudah dimuat di koran, tapi hal-hal kecil dalam reportase yang tidak bisa disajikan dalam hasil liputan.

Di sekitar musola itu, saya mewawancarai tiga tetangga pemilik musola. Dari semua tetangga yang saya wawancarai, semuanya menduga kalau hasil dari kotak amal yang sudah bertahun-tahun itu masuk kepada kantong pribadi si takmir musola. Selain itu, semua tetangga itu mengatakan kalau pemilik Musholla memang salat jamaah setiap waktu, tapi dia tidak pernah bekerja serta tidak pandai bergaul dengan tetangga. Oleh karenanya, dalam pembangunan musola tersebut tak ada tetangga ikut serta kerja bakti.

Cerita tentang pemilik musola yang tak akur dengan tetangganya itu tentu saja tidak pantas dimasukan ke dalam isi berita karena dinilai terlalu pribadi dan remeh-temeh. Tapi, soal fenomena yang dianggap remeh-temeh di dunia jurnalistik ini bisa menjadi hal yang mengesankan jika diramu menjadi karya sastra, semisal novel atau cerita pendek.

Dan, perihal pemilik musola yang rajin ibadah tapi tak terlalu bagus hubungan dengan tetangganya itu sudah pernah dituliskan oleh sastrawan legendaris Aa Navis berupa cerita pendek berjudul Robohnya Surau Kami. 

Ketika liputan, saya sontak teringat cerpen yang pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku pada 2002 silam. Dalam cerpen ini, diceritakan seorang kiai kampung yang tua dan ringkih ditemukan mati mengenaskan di musola miliknya. Si tua ini mati dengan cara menggorok lehernya sendiri.

Apa sebabnya? Karena Aji Saidi, salah satu tokoh dalam cerpen ini menceritakan sebuah kejadian yang ada di neraka. Aji Saidi menceritakan kalau di neraka ada kisah tentang Haji Saleh yang taat beribadah dan rajin mengaji tapi dimasukkan ke dalam neraka oleh Tuhan.

Haji Saleh masuk neraka karena dia hanya taat beribadah saja, sedangkan dia tidak pernah bekerja dan membiarkan anak cucunya hidup miskin. Tuhan pun murka pada Haji Saleh dan menjebloskannya dengan orang 'saleh' lain yang malas bekerja dan berbuat baik kepada sesama.

Karena cerita itulah, Si ustaz tadi memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Nah, cerita dan kronik tentang hal yang remeh-temeh seperti dalam keluarga, tetangga, pergaulan sehari-hari dan juga desa bisa dikemas menjadi hal menarik dalam sastra. Tentu saja, hal ini sulit dituliskan dalam karya jurnalistik.

Perihal hubungan sastra dan jurnalistik ini, Seno Gumira Ajidarma, salah seorang wartawan yang juga sastrawan pernah menulis buku berjudul Ketika Jurnalistik Dibumkam, Sastra Harus Bicara. Judul buku ini Seno arahkan ketika Orde Baru masih berkuasa. Lalu, bagaimana di zaman ketika kebebasan pers sudah terbuka lebar? Menurut saya, Sastra dan Jurnalisme tetap harus saling mengisi banyak ‘kosongan’ yang mereka miliki.

Lalu apa yang bisa diisi oleh Jurnalisme kepada 'lobang' yang ditinggalkan sastra. Saya kira jawabannya sangatlah sederhana, jurnalisme harus bisa membuat perubahan yang itu tidak bisa dilakukan oleh karya sastra. Dengan apa? Tentu saja dengan mutu jurnalistik yang tidak hanya berisi gumam, sebagaimana kebanyakan karya sastra mutakhir kita ini. Jika saling mengisi itu berjalan dengan baik, saya kira Sastra dan Jurnalisme terhindar dari proses membunuh diri mereka sendiri. Meski, di tengah dunia siber yang hiruk-pikuk, Sastra dan Jurnalisme seolah sedang melintasi jalan yang berkelok.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top