Thursday, October 16, 2014

Kopi Tahlil dan Kopi Jitu

9:04 AM

[sumber]
Oleh: Muhammad Mahrus*

Sepakat atau tidak, Indonesia merupakan salah satu dari empat negara penghasil kopi terbesar di dunia. Dewasa ini, ekspor kopi Indonesia mampu mengalahkan Brasil sebagai salah satu saingan beratnya. Terlepas dari jenis dan berbagai tingkat kualitasnya, rupanya kopi Indonesia adalah kopi yang paling dicari di Eropa, Amerika, dan sebagian di Timur Tengah. Di Mesir, beberapa hari yang lalu digelar Workshop Kopi Indonesia dalam Indonesian Expo 2014. Workshop bertajuk “Indonesian Coffee Culture: Beyond Tradition and Economical Values” itu membuka mata warga Mesir bahwa sebagian besar kopi yang mereka konsumsi dalam setiap harinya adalah kopi Indonesia.

Anggapan warga Mesir selama ini, barangkali, karena memang kopi Brasil telah lebih dulu mendapat brand di hati masyarakat sana. Kemudian para pelaku industri kopi di sana tidak mau kehilangan pasar tersebut. Sialnya, para eksportir kopi di Mesir juga mendatangkan kopi dari negara-negara yang juga bukan penghasil kopi seperti Jerman, Italia, Swiss, Belanda, dan Inggris. Sementara negara-negara tersebut juga banyak mendatangkan kopi dari Indonesia. Coba pikir!

***

Di Cepu, dikenal dengan kopi Kothok-nya yang khas. Di Blora ada kopi santan. Keduanya memiliki karakter dan cita rasa yang unik dan pastinya istimewa. Secara geografis kedua daerah itu bukan termasuk penghasil kopi terbaik, tapi memiliki cara tersendiri untuk menikmati kopi. Seperti halnya di dua daerah tersebut, hampir setiap kota dan kabupaten memiliki caranya sendiri untuk menikmati kopi. Dalam kesempatan yang lain, kita akan membahasnya satu per satu.

Kali ini, saya ingin mengeksplorasi cara menikmati kopi di sebuah kota yang dikenal dengan industri batiknya: Pekalongan. Jika berkunjung ke sana, akan rugi sekiranya kita tidak menyempatkan waktu menikmati kopi Tahlil. Iya, Tahlil! Bagi Anda yang belum sempat menganal istilah ini tidak mengapa. Saya akan mencoba menguraikannya barang sebentar.

Tahlil adalah sebuah upacara keagamaan dalam Islam yang kerap kali dilakukan dengan motif-motif tertentu. Adakalanya motif tersebut berupa hajat hidup dari aspek spiritual maupun aspek sosial masyarakat. Yang saya maksud aspek spiritual masyarakat di sini adalah motif yang berkaitan dengan kepentingan pribadi si penyelenggara seperti selamatan kematian anggota keluarga, syukuran pernikahan, syukuran sunatan, menempati rumah baru, tolak bala, dan sebagainya. Sedangkan motif dari aspek sosial kaprah dilakukan dalam rangkaian upacara-upacara adat seperti merti dusun, sedekah bumi, sedekah laut, tirakatan malam 17-an, atau sekadar upacara rutin mingguan per RT dan seterusnya. Prinsipnya, baik motif spiritual maupun sosial, Tahlil dilakukan untuk memohon petunjuk dan pertolongan dari Tuhan dalam bentuk zikir dan membaca doa bersama. Karenanya, meminjam istilah Durkheim, Tahlil adalah sebuah fakta sosial yang turut serta membentuk solidaritas masyarakat untuk menjadi lebih baik.

Pada mulanya, tahlilan dan ngopi adalah dua aktivitas dengan motif yang berbeda. Saya katakan berbeda karena memang tidak sama. Tahlilan itu tahlilan. Ngopi itu ya ngopi. Jika Anda merasa tidak perlu penjelasan saya ini, lebih baik Anda mengabaikan. Walaupun Anda sudah terlanjur membaca. Ah, sudahlah. Abaikan. Abaikan. Abaikan. Tapi harus saya sampaikan juga, bahwa dalam tulisan ini, barangkali Anda akan mendapati banyak istilah pinjaman yang saya pakai. Karenanya saya mengharapkan permakluman. Apa pasal? Pikirkan sendiri.

Dalam bahasa agama (Islam), sesekali kita akan berjumpa dengan konsep ‘amal. Terjemahan bebasnya, seringkali diartikan dengan perbuatan. Sampai di sini saya kira ‘amal mengalami sedikit reduksi atas substansi pengertiannya. Tapi biarlah, demi kepentingan pemahaman yang sederhana, perbuatan saja sudah cukup. Akan tetapi dalam kaca mata filsafat dan sosiologi, ‘amal, masing-masing berarti action dan sebuah tindakan sosial yang menjadi wujud atau eksternalisasi dari sebuah motif tertentu. Nah, ini menunjukkan betapa sebuah tindakan sosial itu berangkat dari beragam motif yang, sampai pada satu titik tertentu, akhirnya motif-motif itu dipertemukan. Sehingga, terbentuklah sebuah sistem solidaritas dalam masyarakat. Agaknya, di sinilah konteks tahlil itu ada.

Sebagaimana tahlil, demikian pula dengan ngopi. Mereka yang berduyun-duyun ke sebuah tempat ngopi, dari yang sederhana sampai serbaguna, tentunya berangkat dengan motif-motif yang tak sama. Seiring dengan pertemuan itu, mereka didorong untuk menciptakan sebuah sistem solidaritas dalam tindakan tersebut. Lantas, solidaritas yang bagaimana? Sampai di sini, saya kira baik Durkheim maupun Auguste Comte, akan menggolongkan ngopi ke dalam solidaritas sosial organik sementara tahlilan ke dalam solidaritas sosial mekanik. Sayangnya, kita tidak dapat menyimak secara langsung pendapat mereka berdua untuk kedua hal ini.

Uniknya, tahlilan dan ngopi ini melebur dalam satu fakta sosial dan lahirlah apa yang ingin saya sampaikan di sini: Kopi Tahlil. Iya, kopi dan tahlilan. Kabarnya, istilah ini muncul karena setiapkali digelar acara tahlil, kopi menjadi menu hidangan wajib. Kira-kira, lâ tahlîlâ illâ bi al-qahwah, tidak ada tahlilan kecuali dengan kopi. Saya curiga, fakta sosial seperti ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Di negara-negara Amerika, Timur Tengah, dan Eropa sekalipun, termasuk di Perancis di mana Durkheim dibesarkan dengan aliran sosiologi fungsionalismenya, paling-paling ngopi sebagai solidaritas sosial organik, melebur dengan solidaritas organik yang lain. Atau sebuah solidaritas mekanik yang satu dengan solidaritas mekanik yang lain.

Saya membayangkan, seandainya Durkheim semasa hidupnya pernah berkunjung ke Pekalongan dan mendapati suguhan Kopi Tahlil, pasti dia akan mengupayakan sebuah bentuk ketiga dari dua solidaritas sosial itu. Misalnya, solidaritas sosial tahlili, atau solidaritas sosial alternatif, atau apa saja yang penting dapat membedakan antara solidaritas sosial organik dan mekanik sekaligus memberikan benang merah di antara kedua wilayah yang tak bertuan tersebut, di mana solidaritas sosial organik terbangun atas kebutuhan individu yang berbeda-beda. Umumnya dalam hal pekerjaan. Solidaritas inilah yang mendorong masyarakat melahirkan konsensus representatif, yakni ikatan solidaritas yang dibangun berdasarkan representasi dari masing-masing tugas dan pekerjaan setiap individu. Kebutuhan representasi ini sampai mencakup spesifikasi pekerjaan sesuai dengan bidang dan keahliannya.

Berbeda dengan solidaritas sosial mekanik. Solidaritas ini berangkat dari homogenitas pekerjaan masyarakat tanpa mementingkan keahlian setiap individu. Menurut Durkheim, solidaritas ini hanya ada dalam kalangan masyarakat tradisional dengan ikatan emosionalnya yang kuat. Solidaritas ini melahirkan sebuah peleburan sosial yang disebutnya dengan konsensus sosial, yakni ikatan solidaritas yang dibangun berdasarkan ikatan sosial masyarakatnya. Dalam tahlilan, kita akan mendapati seorang yang setiap harinya bekerja sebagai buruh tani, kuli pasar, tukang parkir, tukang bangunan, dan sebagainya, menjadi pemimpin zikir dan doa bersama.

Sayangnya, Durkheim tidak pernah berkunjung ke Pekalongan sampai tutup usianya. Jika saja pernah, barangkali dia pun tak sempat merumuskan konsep bunuh diri terkait solidaritas sosial bagi masyarakat modern. Tidak ada bunuh diri; tidak ada bunuh diri anomik, fatalistik, dan altruistik. Tidak ada solidaritas masyarakat organik. Tidak ada masyarakat modern. Tidak ada sosiologi fungsionalisme. Tidak ada Durkheim. Ah... tahlilan. Ah... illallah. Ah... illahllah. Ah... illallah.

***
Dalam pembukuan tahun 2013 UN Trade Statistic, ekspor kopi Indonesia ke Jerman mencapai angka 145,87 juta dollar, Itali 87,8 juta dollar AS, Swiss 10,5 juta dollar, dan Korea Selatan 6 juta dollar. Khusus ke Mesir, data dari KBRI tahun 2013 menunjukkan angka ekspor hingga 35,89 juta dollas AS. Pada saat yang sama, tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia sendiri dewasa ini mencapai 180.000 ton per hari. Data ini diolah berdasarkan struktur industri kopi dalam negeri yang pada awal tahun 1990-an masih sampai pada angka 120.000 ton per hari. Jadi, ada peningkatan daya konsumsi rata-rata sebanyak 2.500 ton per tahun. Sialnya, para petani kopi sendiri, khususnya di Jawa masih banyak yang mewarisi cara lama. Yakni kopi jitu: kopi siji jagung pitu. Ah... Illallah.[]

Jogjakarta, 16 Oktober 2014

Muhammad Mahrus
Siapalah aku. 
Aku hanya penulis lepas yang belum pernah sekalipun ke Pekalongan dan merasakan secara langsung Kopi Tahlil.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top