Monday, September 8, 2014

Ar-Râzî: Sejarah dan Filsafatnya

11:34 AM

Oleh: Abdurrohim Said*

PENDAHULUAN

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya”, kiranya tidak terlalu berlebihan jika kata-kata tersebut menjadi pendahulu artikel singkat ini, guna mangungkapkan akan pentingnya sebuah generasi mengingat kembali jasa-jasa pendahulunya. Paling tidak sebagai pelajaran bagi generasi untuk mengikuti jejak langkah pendahulunya.

Mempelajari sejarah sangatlah penting, terlebih untuk menjaga dan melestarikan sejarah tersebut dan mengaktualisasikannya sebagai dasar-dasar penting. Dalam hal ini, Ibn Khaldûn dalam Muqaddimah-nya mengatakan, “Mengetahui dan mempelajari Sejarah sangatlah penting, karena hal itu dapat memperlihatkan kepada kita keadaan orang-orang terdahulu.”[1]

Sosok Ar-Râzî (864-930 M), sebagai tokoh serta ilmuwan Muslim yang pernah terlahir di dunia Islam tidak bisa dipungkiri telah menggoreskan tinta emasnya dalam sejarah Islam. Maka di sini penulis akan mengetengahkan sekilas tentang biografinya, dengan harapan semoga generasi umat Islam ini semakin tergugah dan menyadari akan pentingnya mengingat para pendahulunya, paling tidak sebagai titik awal usaha kebangkitan umat Islam pada umumnya.

Riwayat Hidup Ar-Râzî
Nama asli Ar-Râzî adalah Abû Bakr Muhammad ibn Zakariyâ Ar-Râzî dikenal di Barat sebagai Rhazes. Dia adalah salah seoran Ilmuwan Iran yang hidup pada 864-930 M. Ar-Râzî lahir di Rayy, Teheran, pada 865.[2] Ia pernah menjadi direktur Rumah sakit Rayy dan pernah pula menjadi direktur Rumah Sakit Baghdad.[3] Selain Ar-Râzî sang ahli filsafat, ada lagi beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Ar-Râzî, yakni Abû Hâtim Ar-Râzî, Fakhr ad-Dîn Ar-Râzî dan Najm ad-Dîn Ar-Râzî. Oleh karena itu, agar dapat membedakan Ar-Râzî sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abû Bakr, yang merupakan nama kunyah-nya.[4]

Di awal kehidupannya, dia sangat tertarik dengan seni musik. Namun, dia juga tertarik dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya sehingga kebanyakan masa hidupnya dihabiskan untuk mengkaji kimia, filsafat, logika, matematika, dan fisika. Pada akhirnya dia dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibn Sînâ, tetapi semula Ar-Râzî adalah seorang ahli kimia.

Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr (1968), Ar-Râzî meninggalkan dunia kimia karena pengelihatanya mulai kabur akibat eksperimen-aksperimen kimia yang meletihkannya. Lalu, dengan bekal ilmu kimianya yang luas dia menekuni dunia medis kedokteran yang rupanya menarik minatnya ketika muda. Menurut Ar-Râzî, seorang pasien yang sembuh dari penyakitnya disebabkan oleh respon reaksi kimia yang terdapat di dalam tubuh pasien tersebut.

Dalam waktu yang relatif cepat, Ar-Râzî mendirikan rumah sakit di Rayy, sebagai salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan medis. Selang beberapa waktu kemudian, dia juga dipercaya memimpin rumah sakit Baghdad.

Beberapa ilmuwan Barat berpendapat bahwa Ar-Râzî adalah penggagas ilmu kimia modern. Hal ini dibuktikan dengan hasil karya tulis dan hasil penemuan eksperimanya. Ar-Râzî berhasil memberikan informasi lengkap dari beberapa reaksi kimia serta deskripsi dan desain lebih dari dua puluh instrument untuk analisis kimia. Dia juga memberikan deskripsi ilmu kimia secara sederhana dan rasional.

Karya-karya al-Razi
Ar-Razi (sumber)
Ar-Râzî termasuk tokoh yang produktif, keteguhan dan kesungguhannya dalam menulis sangat tinggi untuk kalangan tokoh pada masa itu, Ia pernah menulis dalam setahun, lebih dari 20.000 lembar kertas. Disebutkan bahwa karya tulisnya mencapai 232 buah buku atau risalah. Karya tulisnya yang terbesar adalah Al-Hâwî (himpunan), sebuah ensiklopedi kedokteran yang terdiri dari 20 jilid, yang mengandung kedokteran Yunani, Suriah, Arab, dan hasil penelitiannya sendiri. Ensiklopedi kedokteran tersebut diterjemahkan kedalam bahasa latin pada tahun 1279, dan sejak tahun 1486 berulang kali dicetak karena dipakai di universitas-universitas Eropa sampai dengan abad ke-17. Karangannya tentang campak dan cacar (Fî al-Judâr Wa al-Hasbah) juga diterjemahkan kedalam bahasa latin, dan bahkan pada tahun 1866 dicetak untuk ke-40 kalinya.[5]

Sebagai seorang kimiawan, Ar-Râzî adalah orang pertama yang mampu menghasilkan asam sulfat dan beberapa asam lainnya bahkan penggunaan alkohol untuk fermentasi zat yang manis. Beberapa karya tulis ilmiahnya dalam bidang ilmu kimia yaitu: (1) Al-Asrâr, membahas teknik penanganan zat-zat kimia dan manfaatnya. (2) Liber Experimentorum, membahas pembagian zat ke dalam hewan, tumbuhan, dan mineral yang menjadi cikal bakal kimia organik dan kimia non-organik. (3) Sirr Al-Asrâr, membahas (a) ilmu dan pencarian obat-obatan dari sumber tumbuhan, hewan, dan galian serta simbolnya, juga jenis terbaik untuk digunakan dalam perawatan; (b) ilmu dan peralatan yang penting bagi kimia serta apotek; (c) ilmu dan tujuh tata cara serta teknik kima yang melibatkan pemprosesan reksa, belerang (sulfur), arsenik, serta logam-logam lain seperti emas, perak, tembaga, timbal, dan besi.[6]

Selain itu, Ar-Râzî juga terkenal di dunia psikologi. Dia terkenal melalui karyanya The Spritual Physic (Pengobatan Jiwa) yang memperlihatkan bahwa ia adalah seorang psikolog tangguh dan ahli medis yang terkemuka. Beberapa pemikirannaya banyak menarik para pemikir modern. Ia mengembangkan hubungan saling tolong-menolong secara mutual (Mutual Helpfulness), dan Ar-Râzî juga mengembangkan a pleasure-pain theory (teori tentang senang dan sakit).[7]

Filsafat Ar-Râzî
Nampaknya Ar-Râzî juga seorang rasionalis murni. Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya “Al-Thibb ar-Rûhânî”, ia menulis:

Tuhan, segala puji baginya yang telah memberikan kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik. Dengan akal pula kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi bagi kita. Dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang tuhan suatu pengetahuan yang tertinggi….

Dari perkataan al-Razi ini, nampak jelas posisi akal menjadi hal yang urgen dalam memahami sesuatu, termasuk Tuhan.

~ Metafisika
Filsafat Ar-Râzî terkenal dengan bangunannya pada ajaran “Lima Kekal” yaitu: (1) Tuhan, (2) Jiwa Universal, (3) Materi Pertama (4) Ruang Absolut, (5) Masa Absolut.

Menurut al-Razi, dua dari lima yang kekal tersebut hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Sedangkan dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.

Allah adalah maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada, akan tetapi dari sesuatu yang telah ada (al-îjâd min syai’). Oleh karena itu, alam semestinya tidak kekal, sekalipun materi pertama kekal, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari sesuatu yang telah ada.

Jiwa universal merupakan al-mabda’ al-qadîm al-tsânî (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda terdapat daya hidup dan gerak (sulit diketahui karena dia tanpa bentuk) yang berasal dari jiwa universal. Namun, karena benda-benda itu dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayûlâ al-ûlâ (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik. Sedangkan Materi Pertama tanpa fisik, maka Tuhan menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk badan manusia yang ditempati roh, agar jiwa dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mangambil kesenangan-kesenangan materil untuk sementara waktu.[8]

Keabadian materi didemontrasikan dalam dua cara. Penciptaan, yaitu tindakan materi yang sedang “dalam pembentukan”, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang Pencipta yang telah mendahuluinya, tetapi juga sebuah substratum atau meteri di mana tindakan itu melekat. Selain itu, konsep yang sebenarnya dari penciptaan ex nihilo tidak dapat dipertahankan secara logis, karena jika Tuhan telah mampu menciptakan sesuatu dari tiada, maka tentu saja ia harus terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada, karena hal ini merupakan modus pembuatan yang paling sederhana dan paling cepat. Tetapi karena tidak demikian halnya, maka dunia haruslah dikatakan telah diciptakan dari materi tanpa bentuk, yang telah mendahuluinya sejak semula. Materi memerlukan sebuah locus tempat ia tinggal, dan ini adalah prinsip yang kedua.[9]

Mengenai Ruang dipahami oleh Ar-Râzî sebagai sebuah konsep abstrak, yang berbeda dengan “tempat” (tonos) Aristoteles, tidak dapat dipisahkan secara logis dari tubuh. Akibatnya, ia menarik garis perbedaan antara tempat atau ruang universal dan partikular. Tempat (ruang) universal sama sekali berbeda dengan tubuh, sehingga konsep tubuh yang menempatinya tidak perlu masuk kedalam defenisinya, seperti yang implisit dalam konsep ruang Aristotelian, atau “batas tubuh yang paling dalam yang terkandung di dalamnya”. Sementara bagi Aristoteles pun dalam kapasitas universalnya sebagai locus communis, ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh alam semesta dan karena itu bersifat terbatas. Tempat partikular, dipihak lain, tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi yang merupakan esensinya yang sejati. Dalam hal ini, ia berbeda dengan konsep Aristoteles tentang ruang-waktu sebagai locus atau wahana (vehicle).[10]

Mengenai yang ketiga, dalam pandangannya tentang waktu, Ar-Râzî juga menyimpang dari Aristoteles, yang memandang waktu sebagai semacam gerak atau bilangan dari padanya. Konsep seperti itu menyebabkan realitas waktu tergantung secara logis kepada gerakan secara umum dan gerakan segenap langit secara khusus; tetapi dalam pandangan Ar-Râzî, gerak tidaklah menghasilkan tetapi hanyalah menyingkap atau memperlihatkan waktu, yang karenanya secara esensial tetap berbeda dengannya. Seperti terhadap ruang, lebih lanjut ia membedakan antara waktu partikular dengan waktu mutlak atau universal. Yang pertama dibayangkan sebagai (sesuatu) yang dapat diukur dan terbatas, sedangkan yang terakhir sebagai yang tidak dapat diukur dan tidak terbatas, sama dengan zaman universal (ad-Dahr) Neoplatonik, yang merupakan ukuran perlangsungan dunia indriawi, yang disebut oleh Plato “bayang-bayang keabadian yang bergerak”.[11]

~ Moral
Soul
Adapun pemikiran Al-Razi tentang moral, sebagai tertuang dalam bukunya Ath-Thibb ar-Rûhânî dan As-Sîrah al-Falsafiyah, bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan petunjuk rasio. Hawa nafsu harus berada di bawah kendali akal dan agama. Ia memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak dan melanggar ajaran agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya menghancurkan manusia. Karena itu, manusia perlu mengetahui kekurangan-kekurangannya, sehingga ia dapat meminta seorang teman yang berkemampuan menalar untuk mengatakan kepadanya tentang kekurangan di maksud. Sebaliknya, seseorang harus mengetahui perihal orang lain, tetangga, teman yang berpikir tentang dirinya.[12]

Berkaitan dengan  jiwa, Ar-Râzî mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (Ath-Thibb ar-Rûhânî) dan kedokteran tubuh (Ath-Thibb al-Jismânî) secara bersama-sama, karena manusia memerlukan hal itu secara bersama-sama pula. Kebutuhan kepada kedokteran tubuh sudah lazim, sedangkan kebutuhan untuk kedokteran jiwa adalah untuk menjaga keseimbangan jiwa dalam aktivitas-aktivitasnya, agar tidak minus ataupun over. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi Ar-Râzî. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa tidak akan terjadi kecuali dengan melalui persepsi inderawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga menimbulkan keraguan-keraguan yang melankolis. Demikian pula sifat hasut atau dengki akan dapat mendatangkan marabahaya bagi manusia secara kejiwaan dan tubuh; kekhawatiran yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya halusinasi dan melankonia atau kelayuan diri.

~ Kenabian
Al-Razi menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi. Pendapat yang kontroversial ini harus dipahami bahwa ia adalah seorang rasionalis murni. Akal menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Karena itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekang ruang gerak akal, tetapi memberi kebebasan sepenuhnya dalam segala hal. Jika akal tidak ada samalah halnya manusia dengan binatang atau anak-anak atau orang gila.[13]

Al-Razi memang menentang kenabian wahyu dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus masuk akal, ilmiah dan logis, sehingga akal menjadi kriteria prima dalam pengetahuan dan prilaku. Perbedaan manusia adalah disebabkan oleh berbedanya pemupukan akal karena ada yang memperhatikan hal tersebut dan ada yang tidak memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun yang bersifat praktis.[14]

Selain itu, Ar-Râzî juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah kata ”Semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan Salawat kepada Sayid kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari kiamat, yakni Muhammad. Semoga Allah melimpahkan kepadanya Salawat dan Salam yang banyak selama-lamanya.[15]

Pandangan Ar-Râzî yang mengultuskan kekuatan akal tersebut menjadikan ia tidak percaya kepada wahyu dan adanya nabi sebagai diutarakannya dalam bukunya, Naqd al-Adyân aw fî al-Nubuwwah (Kritik terhadap Agama-agama atau perihal Kenabian). Menurutnya, para nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya. Perbedaan antara manusia timbul karena berlainan pendidikan dan berbedanya suasana perkembangannya. Lebih lanjut di katakannya, tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada Nabinya dan tidak mengakui Nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang di peluknya. Kelangsungan agama hanya berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang di peralat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang menyilauan mata rakyat bodoh.[16]

KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Abû Bakr Muhammad ibn Zakariyâ Ar-Râzî atau dikenali sebagai Rhazes di dunia Barat merupakan salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864-930. Ia lahir di Rayy. Ar-Râzî lahir pada tanggal 28 Agustus 865 Hijirah dan meninggal pada tanggal 09 Oktober 925 Hijriah. Nama Ar-Râzî-nya berasal dari nama kota Rayy.Ia adalah seorang pemikir atau filosof rasionalis yang tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Namun ia juga seorang Muslim yang ingin menginterpretasikan pemahamannya tentang Tuhan dan makhlukNya. Karena ia seorang dokter, maka karyanya yang banyak adalah dalam bidang kedokteran.

Pemikiran filsafatnya sangat rasionalis, bahkan ia tidak mempercayai signifikansi Alquran dan kenabian. Ajaran yang terkenal darinya adalah Lima Kekal. Di samping itu, ia juga mempunyai ajaran etika agar manusia tidak terlalu zuhud dan juga tidak terlalu bermewah-mewah.

DAFTAR PUSTAKA

  • Khaldun, Abdu al-Rahman Ibnu “Muqaddimah Ibnu Khaldun”, 2001 (Beirut; Daru al-Fikr)
  • Dahlan, Abdul Aziz. Dkk “ENSIKLOPEDI TEMATIS DUNIA ISLAM, PEMIKIRAN DAN PERADABAN. 2001 (Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve)
  • Zar, Sirajuddin,  “Filsafat Islam filosof dan filsafatnya”, 2004 (Jakarta: Raja Grafindo Persada) 
  • al-Khoiry, M. Mufur . “Zaman keemasan Islam (para ilmuan Muslim dan pengaruhnya terhadap dunia barat. (terjemah ARABIC THOUGHT AND THE WESTERN WORLD, in the Golden age of Islam) 2003 ( Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru)
  • Nasution, Hasyimsyah. “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama)
  • Majid Fakry, “Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis” 2001 Penj. Zaimul am. (Bandung; Mizan)
  • Dahlan. Ahmad Aziz, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, 1982 (Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah)
  • Mustofa, A.  Filsafat Islam, 2004 (Bandung: Pustaka Setia)
  • http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-al-razi.html (diakses pada : 21 Juni 2013 Pukul : 23:15)




[1] Abdu al-Rahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Daru al-Fikr, (2001) Beiru Lebanon. Hlm. 13
[2] http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-al-razi.html
[3] ENSIKLOPEDI TEMATIS DUNIA ISLAM, PEMIKIRAN DAN PERADABAN. PROF. DR. H Abdul Aziz Dahlan. Dkk. (Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve) 183.
[4] Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, 2004 (Jakarta: Raja Grafindo Persada)  133
[5] ENSIKLOPEDI TEMATIS DUNIA ISLAM, PEMIKIRAN DAN PERADABAN. PROF. DR. H Abdul Aziz Dahlan. Dkk. PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. Hlm. 183.
[6] http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-al-razi.html
[7] Zaman keemasan Islam (para ilmuan Musloim dan pengaruhnya terhadap dunia barat. (terjemah ARABIC THOUGHT AND THE WESTERN WORLD, in the Golden age of Islam). M. Mufur al-Khoiry,  Fajar Pustaka Baru, 2003, Yogyakarta.  Hlm. 5-6
[8] Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 24-25
[9] Majid Fakry, “Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis” 2001 Penj. Zaimul am. (Bandung; Mizan) 157
[10] Majid Fakry, “Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis” 2001 Penj. Zaimul am. (Bandung; Mizan) 158
[11] Ibid
[12] Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 28
[13] Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 30
[14] Mustofa, A.  Filsafat Islam, 2004 (Bandung: Pustaka Setia) 118
[15] Ahmad Aziz Dahlan, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, (Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah, 1982), hlm. 185
[16] Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 30-31

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top