Wednesday, August 13, 2014

Bertahta Emas

11:17 PM


Sumber foto: di sini

Oleh: Muhammad Madarik

Mendung masih menggantung di bawah langit, kendati hujan sudah mulai rintik setelah semenjak tadi Kota Apel ini diguyur air dengan lebatnya. Dalam kondisi jalan licin, Zami membanting setir ke kanan dengan cepat. “Syiiit” bunyi roda memanjang, saat Zami menginjak rem secara mendadak. Hampir saja mobil Sport-nya melindas trotoar ketika tiba-tiba sebuah Jeep memotong jalan. “Tiiit, tiiit,,,” klakson dipencet berkali-kali, menggambarkan perjaka ini begitu kesal. Terlebih mobil berwarna biru tua itu berlalu dengan kencang tanpa sedikit sopirnya merasa bersalah, membuat Zami hanya mampu bergumam “masya Allah!” sambil menggelengkan kepala pertanda ia semakin dongkol. Pada saat yang sama nada midnight picnic dari HP-nya berdering.

“Halo?!” Suara Zami ketika meraih telepon genggamnya.

“Iya, iya. Aku sedang meluncur. Sebentar lagi nyampek, Fik!” Sambungnya lagi.

Segera Zami membanting HP-nya dengan kasar ke jok kirinya seraya menancapkan gas memacu kendaraan lebih cepat.

Sesampainya di halaman gedung serba guna, ia langsung memarkir mobilnya di antara kendaraan yang mulai berdatangan. Organisasi kemahasiswaan yang diketuainya memang sedang mengadakan acara pengumpulan amal buat bakti sosial pembagian santunan anak yatim dan orang-orang miskin di sekitar kampus dengan mendatangkan pembicara dari kampus, intelektual muda dari Surabaya dan dimeriahkan dengan grup musik dari ibu kota sebagai bintang tamunya. Sebagai pihak yang membawahi panitia penyelenggara, ia didapuk untuk memberikan kata sambutan pada acara itu.

“Zam, kenapa kok lambat sih? Ini ‘dah jam berapa?” Tanya Fika yang telah berdiri di depan pintu gedung.

“Maaf, Fik, ini di jalan aku hampir mo nabrak. ‘Gimana undangan?” Zami mengumbar alasan. Seperti biasa, sejurus kemudian ia mengeluarkan bungkusan filternya, mengambil satu batang, membakar dan menghisap dalam-dalam. Nikmat yang luar biasa betul-betul dirasakan Zami, meskipun rasa kantuk yang sejak tadi masih tersisa seolah terobati oleh hisapan demi hisapan.

Matanya yang agak merah karena tadi malam menyertai panitia lembur membuat Fika menyadari sedikit keterlambatannya.

“Yah, lumayan. Aku lihat di daftar hadir sudah separo lebih. Kita tinggal menunggu Pimpinan Rektorat yang kita undang,” sahut Sekretaris Panitia ini.           

“Aditya mana, Fik?”

“Itu di depan, masih mengatur Seksi Acara,” tunjuk gadis berjilbab ini.

Tak lama, Puket III dan beberapa dosen undangan telah menuju tempat acara. Melihat pihak yang ditunggu sudah datang, Zami memberikan perintah-perintah persiapan kepada segenap panitia yang berada di sampingya.

“Fik, kamu tetap standby di sini dengan bagian penerima tamu, aku masuk dulu sama Aditya,” ucap Zami memberikan komando.

“Ya, Zam,” timpal Fika.

Sedetik, HP-nya berdering. Rokok di tangan kiri, tangan kanan mengangkat selulernya sambil berjalan menuju ruang acara.

“Apa, Mit?! Ya, ya, nanti sajalah. Aku lagi sibuk,” Zami mempercepat langkahnya di jalan antara kursi para undangan.

“Ya, nanti kuhubungi lagi, Mit,” kembali suaranya menyeruak di antara pinggir jalan yang dilewati Zami. Secepat kilat ia matikan HP-nya, sementara rokoknya tanpa terasa masih diapit dua jari kirinya.

“Hei Zam! Rokokmu!” Aditya menunjuk rokok itu.  

***

“Bapak, Ibu, Saudara sekalian,” Zami mengawali sambutannya setelah ba bi bu dengan mukadimah di awal pidatonya.

“Ada hal yang seringkali terlupakan dari banyak sisi kehidupan kampus, terutama para mahasiswa. Ternyata gaya hidup sebagian besar mereka benar-benar nun jauh di sana. Sementara masyarakat sekitarnya hanya menghirup udara dengan model hidup sederhana dekat di sini. Seakan para mahasiswa menggelantungkan tangan-tangan mereka di kaki langit, sedangkan masyarakat jelata melata di permukaan bumi. Terdapat jurang perbedaan yang lebar nan dalam menganga di antara keduanya, sehingga tak seorangpun akan berani bermimpi menyusun galah kemauan, yang dirakit dengan temali silaturrahim, kemudian disambung di dua sisi egoisme.

Ada petuah menarik dari kiai sepuh di salah satu pesantren tua yang menggambarkan tentang kualitas pengetahuan dan pemahaman seseorang. ia mencontohkan tingkat pendidikan yang dijalani setiap individu layaknya seperti sebuah bukit. Makin tinggi kita mendaki, maka kian luas apa yang kita pandang. Bahkan saat kita berada di puncak ilmu pengetahuan, kemungkinan besar kita mampu menyorot seluruh permasalahan dengan sorotan yang luas dan mencakupi segenap dimensi, bukan sebaliknya melihat dengan kaca mata kuda yang sempit dan picik.” Zami berhenti sejenak setelah gemuruh tepuk tangan terdengar di ruangan. Tanpa sengaja pandangannya berpapasan dengan sorot mata Fika yang berdiri bersama beberapa panitia di ujung belakang. Fika terlihat menundukkan kepala ketika pandangan keduanya bertabrakan.

“Bapak, Ibu, Saudara sekalian. Tapi, fakta memang sering berbantah dengan teori empiris sekalipun. Nyatanya gaya glamor, hedonis dan eksklusif masih saja kerap menghinggap di dalam dinamika kehidupan para insan yang konon katanya kaum intelektual. Lebih-lebih di masa sekarang, bawaan setiap mondar-mandir hanyalah laptop, HP dan setumpuk buku hasil pinjaman perpustakaan. Barang-barang inilah yang dirasakan oleh mereka dapat mengangkat status dan pandangan orang lain terhadap gelar kemahasiswaan yang sedang disandangnya. Padahal, tidak disadari sebetulnya mereka telah membanggakan sesuatu yang seandainya lenyap dari dirinya, mereka bagaikan kakek keriput tanpa pakaian.” Kembali suasana riuh oleh tawa yang diiringi tepuk tangan para hadirin.

“Sementara ini, kita menganggap diri kita sebagai komunitas berkelas intelektual, sedang orang kampung di sekeliling kita dianggap sebagai kaum ritual. Saat ini, kita dengan segala penampilan dan atribut kemahasiswaannya merasa menjadi orang-orang gagah, adapun mereka dengan serta merta kita nilai sebagai manusia-manusia yang begitu  jauh dari hidup megah.

Padahal seandainya kita mau sejenak memejamkan mata, mengantarkan pikiran untuk menerawang pada proses muasal kejadian, lalu sedikit saja bertanya, kita berasal dari mana, maka sebetulnya kita akan dengan mudah menundukkan kepala kepada golongan papa di sekeliling kampus ini, sebab tidak satupun mampu memungkiri bahwa sebetulnya bapak-emak kita sama seperti meraka.” Sejenak Zami menarik nafas, kemudian dengan nada pelan ia meneruskan kata sambutannya.

“Inilah beberapa sebab kenapa kami semua Pengurus dan jajaran kepenitiaan mengadakan kegiatan ini, tidak lain ingin menunjukkan kepada hadirin bahwa eksistensi kami selalu diwarnai oleh rasa kepedulian pada sesama dan terus menerus ingin belajar berwawasan bijaksana dan seksama.

Diakhir sambutan saya, mohon maaf kepada Pimpinan dan para nara sumber, tanpa rasa sombong di lubuk ini saya ingin mengawali pengumpulan dana ini dengan merogoh kocek sebesar sembilan ratus sembilan puluh ribu rupiah.” Tepuk tangan menyeruak ruangan agak lama, karena tindakan Zami di luar dugaan hadirin yang datang. Tetapi bagi kawan-kawan Zami, perilaku dermawan itu bukan sesuatu yang asing. Lalu dengan bla bla bla, Zami mengakhiri sambutannya.

Seperti biasa, perjaka berkulit kuning ini keluar dari ruangan dan menghampiri beberapa panitia yang sedang duduk dengan beberapa gelas kopinya. Sebelum menyulut rokok yang sudah dikeluarkan, ia disalami teman-teman panitia.

“Selamat Zam. Hebat pidatonya.”

“Selamat Zam. Bukan saja isi pidatonya, tapi isi kantongnya,” sergah yang lain.

Zami hanya tersenyum sambil menghirup rokoknya dalam-dalam. Kopi tinggal separo sisa sahabatnya itupun menjadi incaran Zami yang merasakan kerongkongannya sudah mengering.

Zami memang sosok yang nyaris perfect. Ia sudah dua periode ini dinobatkan sebagai Ketua organisasi kemahasiswaan yang dipilih secara aklamasi tanpa lawan. Andai saja tidak ada tata tertib tentang batasan jabatan, niscaya Zami akan dipercaya kembali oleh teman-teman seorganisasinya. Hampir 2 tahun ini, organisasi yang dipimpinnya menunjukkan perubahan positif yang ditandai dengan manejemen organisasi yang teratur, kekompakan individu dan berbagai kegiatan spektakuler yang diselenggarakan. Lelaki ganteng turunan Bandung, otak brilian dan anak orang kaya ini memang acapkali menjadi incaran cewek di kampusnya. Hanya saja, Zami tidak meladeni berbagai trik yang mereka lakoni selama ini.

***

Saat acara selesai, Zami masih duduk-duduk diteras depan gedung. Zami tidak mengikuti sambutan Pimpinan, orasi para nara sumber dan penutupan. Ia hanya bersama beberapa panitia berbincang banyak hal dengan kopi dan rokoknya. Kini waktu sendiri, ia dihampiri Aditya yang sejak tadi sibuk mengatur bawahannya.

“Hei, Zam. Kenapa gak ke dalam?”

“Dit, kamu…. Ah, sudahlah, aku di sini saja. Sudah beres kan?”

“Yeh, tinggal menata dan merapikan gedung. Perlengkapan dan teman-teman yang lain juga kerja kok. Zam, aku ngomong ni. Sebenarnya sudah lama, tapi waktunya selalu tidak tepat. Nah, sekarang mungkin pas.”

“Wah, serius banget kamu, Dit.”

“Enggak. Ini hanya soal pribadi kok.”

“Soal apa sih?”

“Gini. Fika itu sudah lama berbagi cerita denganku. Dia kan cukup dekat dengan aku. Dia sering mengungkapkan isi hatinya, keadaan keluarga dan lain-lainlah. Tapi anaknya minder. Yah maklum kan, dia merasa anak orang pas-pasan. Anak Madura, ada di desa lagi. Yah, boleh dikata bukan anak keju, tapi anak singkong.”

“Ya, lalu kenapa, Dit?”

“Si Fika itu, ya gimana ya?!”

“Gimana gimana, Dit?”

“Dia ada perasaan padamu, Zam. Yah, boleh dikata menaruh hatilah.”

Meskipun sedikit berdesir kalbunya, Zami hanya tersenyum belaka dan tidak ingin berlama-lama dengan perasaannya ia mengajak Aditya ke warung.

“Itu, Rijal, Misli, Kacong diajak juga,” ajak Zami. Salah satu sebab Zami disenangi kawan-kawannya karena ia tidak segan-segan mentraktir sahabatnya.

***

Sore yang cerah ditemani angin sepoi menjadikan cuaca tidak begitu gerah.

“Nak Zami!” Panggil Bok Tun. Zami menepi dari kolam renang yang berada di halaman belakang rumahnya lalu menyambar handuk di pagar kolam.

“Nak, kenapa berenang sekarang?” tanya ibu tua yang merawat Zami sejak kecil itu.

“Karena Zami tahu, setelah habis renang mbok pasti bawakan susu hangat buat Zami,” kilahnya sambil menyabet segelas minuman berwarna putih kental dari tangan Bok Tun.

Seusai berpakaian, Zami memasuki ruang tamu tengah. Ternyata di situ sudah ada ayah dan ibu yang sedang duduk di sofa besar. Sang ayah membaca majalah mingguan, sedangkan ibu memutar tasbih di tangan kanannya. Tak lama Anisa, adik ketiga Zami, turun dari tangga di sebelah pinggir ruangan tersebut, kemudian duduk di sebelah sang ibu.

“Zam, duduk sini!” Suruh ayahnya.

“Ya, Bah,” sahut Zami seraya mengibaskan rambutnya yang masih basah.

“Zam, beberapa waktu yang lalu Pak Rahmad menanyakan perihal hubungan kamu dengan putrinya, Paramitha. Maksudnya Pak Rahmad, bagaimana kelanjutan kalian berdua, sebab dia sangat berharap sekali untuk menjalin kekerabatan dengan keluarga kita,” terang Bapak Izuddin, ayah Zami.

“Maaf bah, Zami belum berpikir ke sana. Lagian Zami enggak pernah meladeni Mita, walaupun dia menelepon Zami,” tangkis Zami.

“Jangan percaya, Bah! Kak Zami pasti sudah punya pacar,” ledek Anis, anak kelas V SD ini.

“Apa kamu!” Sergah Zami sambil melempar bantal kecil ke arah adiknya itu.

“Sudahlah, Bah! Anak masih senang belajar jangan diganggu dulu!”  

“Ya, sudah. Abah tidak akan memaksa kalau kamu masih berpikir begitu. Pesan Abah, jangan mencemarkan nama baik keluarga besar Kiai Mansur. Kamu tahu kan, kakek kamu itu seorang ulama di desa. Apalagi paman kamu, Abdul Hadi, pengganti kakek yang menjadi ulama berkelas nasional. Yah, hanya Abah ini nasibnya menjadi pengusaha,” jelas ayah Zami.

“Ya sudahlah, kita salat Maghrib berjamaah. Habis ini aku ada undangan tasyakuran anak perusahaan teman Abah di kota,” sambungnya lagi.

Setelah mengiringi dan melepas suaminya pergi, sang ibu kembali ke musala rumah di samping kolam renang, menemani Zami dan Anisa yang sedang membaca Alquran.   

Seperti biasa, sehabis makan malam bersama serampung salat Isya berjamaah, Zami duduk di dekat kolam renang dengan menikmati rokok dan secangkir kopi. Siluet bulan yang tengah sempurna memantul di tengah kolam yang beriak. Malam temaram yang ditemani sang dewi bulan kian indah tatkala Bok Tun mengantarkan sepiring pisang goreng hangat.

***

Zami memang pemuda energik dan memiliki etos kerja tinggi. Sekembali dari Bandung, ia sudah disibukkan dengan proyek pengembangan pupuk organik. Dengan menggandeng beberapa LSM yang fokus dalam kegiatan yang sama, ia memobilisir teman-teman mahasiswa yang sepemahaman untuk menggarap proses pemberdayaan masyarakat. Sekarang Zami bersama beberapa kawannya di LSM sedang melakukan penjajakan kerjasama dengan PT (Persero) yang bergerak dalam produksi pada skala besar.

“Harus diakui selama ini, para petani di desa dan kampung sudah terlena dengan penggunaan pupuk kimia bahkan cenderung berlebihan hanya gara-gara terbuai mimpi mampu mengejar produktivitas hasil yang melimpah. Padahal fenomena itu merupakan buah rekayasa sistematis dari produsen agar cara berpikir (image) yang tumbuh dalam alam pikiran para petani adalah ketergantungan kepada hasil produksi mereka.” Zami mengungkapkan presentasinya di depan para Wakil Kepala Bagian Produksi, Pemasaran dan beberapa staf terkait dalam perusahaan itu.

“Sehingga anjuran penggunaan pupuk organik masih belum diadopsi secara optimal dan tingkat kesadaran mereka terhadap pupuk jenis ini masih berkisar 25%. Padahal sebetulnya, banyak di antara mereka memelihara ternak.” Ujarnya sambil menghela nafas.

“Semua kalangan telah mengakui betapa pupuk organik sangat bermanfaat bukan saja bagi peningkatan produksi pertanian baik dari aspek kualitas maupun kuantitas, tetapi lebih dari pada itu dapat mengurangi pencemaran lingkungan, meningkatkan mutu lahan secara berkelanjutan, mencegah degradasi lahan, ikut serta menghemat anggaran negara, dan yang lebih penting efektifitas kerja bisa diserap secara komprehensif,” lanjutnya yang disambut anggukan para penggerak perusahaan.

Selepas mempresentasikan proposal proyeknya dan diusaikan dengan acara ramah tamah, seperti biasa Zami menarik sebatang kretek filternya sambil keluar dari ruang pertemuan. Seraya berjalan menuju sedannya, Zami melirik jam mewah yang melingkar di tangan kirinya sementara tangan kanannya mengapit rokoknya. Selesai disalami kawan-kawannya, ia memasuki mobil yang masih terbilang keluaran anyar itu.

Itulah sebabnya, meskipun menjadi incaran banyak cewek dan pernah didorong oleh ayahnya sendiri, sosok seorang Zami belum pernah berpikir soal pendamping hidup apalagi hanya sekedar mempermainkan kaum hawa.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top