Monday, July 14, 2014

Pada Titik Takdir

4:50 PM


photo credit: here

Oleh: Muhammad Madarik

Hampir lima tahun yang lalu peristiwa yang amat menyayat hati Ila, panggilan akrab Akilah, itu terjadi. Setiap kali kejadian itu hadir di pelupuk mata, setiap kali itu pula butiran bening yang mengalir di pipi Ila tak kuasa dibendung. Perempuan yang mulai kelihatan menua karena sakit yang dideritanya sedikit demi sedikit merenggut paras ayunya, kendati sisa-sisa kecantikan wajahnya tidak dapat didustakan oleh siapapun yang memperhatikan dengan seksama.

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan,
Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kering bebatuan
oo ooh oo ooh

Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan
Hati tergetar menambah kering rerumputan
Perjalanan ini pun seperti saksi gembala kecil menangis sedih
ooh

Kawan coba dengar apa jawabnya ketika kutanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini
Sesampainya di laut kukabarkan semuanya
Kepada karang kepada ombak kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita 
yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita 
coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
oo ooh oo ooh

Di atas kursi roda, Ila duduk sambil melihat langit-langit ruang tamu dengan tatapan kosong. Masa lalu itu kembali terngiang di antara sisi-sisi pikirannya bersama suara Ebiet G. Ade yang mendayu dari tape recorder di sampingnya.

***

Saat itu malam Minggu merupakan malam panjang bagi remaja perkotaan seusia Ila yang menganggap dirinya sebagai bagian dari kalangan modern. Pada umumnya mereka menghabiskan waktu pada malam tersebut dengan kegiatan yang bersifat foya dan santai. Di antara mereka ada yang menonton layar lebar di bioskop terbesar di kota ini “Ortem Theater”, ada pula yang mencari hiburan di diskotik, ada yang sekedar menongkrong dengan teman-temannya di mal.

Sementara itu, Ila sedang duduk bersandingan dengan pacarnya, Ramu, di pinggir alun-alun kota. Senyum kecil menghias di sela-sela cerita mereka berdua. Akilah, anak desa yang kini sudah terpengaruh tata cara hidup dan lingkungan kota, memang selalu menghabiskan malam panjang dengan pacarnya. Menyadari  anugerah yang berada dalam dirinya berupa kecantikan paras wajah, gadis ini seringkali tak menampik cowok yang mendekatinya. Tetapi keceriaan Ila tidak lama bertahan, raut mukanya tak sanggup menyimpan kegelisahan yang sejak tadi diupayakan Ila untuk dipendam. Ramu, anak Jurusan Sastra Inggris ini menangkap tanda-tanda kegusaran pada diri Ila.

“Ada apa Ila?”

“Gak ada apa-apa mas,” sahut Ila lirih.

Merasa tidak nyaman dengan keadaan begini, akhirnya Ramu menyudahi kencan malam ini dengan membonceng Ila di atas sepeda motornya untuk kembali ke rumah kosnya.

Betapa kaget Ramu melihat pemandangan yang mencurigakan. Ternyata seorang pemuda yang memarkir sepeda motornya di depan rumah kos Ila tengah menunggu ia datang. Ramu baru menyadari bahwa sejak tadi tangan Ila selalu sibuk memainkan HP dengan membaca dan menulis SMS di tengah senda-gurau itu hanyalah membalas bagi kedua orang ini. Kecamuk amarah yang tertahan, membuat Ramu meninggalkan Ila di tempat kos itu tanpa basa-basi seperti biasanya.

Idian UJ, sang kekasih Ila langsung mendekatinya dengan tersenyum dan menunduk santun kepada Ramu. Ramu pergi begitu saja tanpa sepatah-katapun, meskipun Idian menjulurkan untuk bersalaman. Idian UJ termasuk dari sekian cowok yang dikoleksi Akilah, tetapi Idian tergolong beruntung di antara pemuda yang mendekati Akilah karena dialah yang sempat mendapatkan perhatian lebih dari Ila. Sebab Idian seorang yang paling sabar menghadapi ulah Akilah dibanding perjaka lainnya. Bagi Idian, Ila memang masih labil karena pengaruh lingkungan. Idian memandang bahwa Ila hanya perlu bimbingan dan pendampingan yang serius. Akilah berbuat demikian bukan karena tabiat atau pendidikan dasar yang membentuk kepribadian, tetapi hanya disebabkan salah memilih teman. Idian memang sejak semula tak pernah surut untuk mendapatkan hati Akilah, walaupun terkadang perih di dada harus diterima akibat ulahnya.

***

Di tempat kos itu Akilah satu kamar dengan adiknya, May Ramitis. Gadis yang baru lulus SMP itu kini meneruskan pendidikannya di SMA di kota ini. Jarak yang dekat dengan sekolah pilihannya, menjadikan May, penggilan akrab May Ramitis, mengikuti kakaknya sebagaimana anjuran ayah dan ibunya. Tetapi di tempat ini May sebetulnya tidak begitu betah, sebab ia merasa muak dengan tingkah kakaknya yang hidup bergaya glamor dan bergaul tanpa batas. Kalau saja bukan karena pesan orang tuanya, May sudah pindah kos menjauh dari cara hidup sang kakak.

Dalam kelas, May dianggap anak yang rajin mengikuti proses pembelajaran dengan tingkat pertisipasi yang cukup tinggi. Hal penting dari uraian para guru, materi pelajaran, buku atau sumber lain yang terkait, selalu ia catat atau diresume di rumah maupun di kelas untuk kemudian dijadikan acuan atau bacaan pada saat siswa dipersilahkan bertanya atau berpendapat oleh pengajar, atau pada waktu diskusi diselenggarakan dalam kelas. Di dalam kegiatan ekstrakurikuler, May juga aktif pada kegiatan-kegiatan OSIS dan Pramuka. Bagi May, keikut-sertaannya di luar aktivitas kelas dipahami sebagai bagian dari pengembangan dan peningkatan kualitas diri sehingga manfaatnya kelak akan dirasakan tidak saja bagi dirinya, tetapi bisa ditemukan oleh orang banyak. Maka itu, sosok May Ramitis selain dikenal sebagai gadis yang lebih banyak bergelut dengan buku bacaan, ia juga dipandang sebagai pribadi yang supel dan energik. Dikenal sebagai profil yang selalu mempergunakan kesempatan untuk menambah perbendaharaan ilmu dengan membaca dan menulis pada satu sisi, serta orang yang memiliki etos kerja tinggi dan mudah bergaul dengan siapa saja pada sisi yang lain. Oleh karena itu, meskipun May sering mengurung diri jika di tempat kos, bukan berarti ia tidak punya teman.  May tampil sebagai golongan kawula muda yang pintar tapi bersahabat, cerdas namun bersahaja.

***

Dasar, ulah Akilah sering kali membuat sakit hati Idian UJ. Sikap urakan, terasa tidak peduli, dan bahkan terpengaruh ikut-ikutan melakukan anak-anak jalanan. Ila sering kali pulang malam, hampir-hampir setiap malam berputar antara kafe dan klub malam, ia juga menjadi gadis perokok.

Malam minggu ini Ila dengan senangnya menggandeng tangan Fidor, teman lelaki yang baru saja dibawa ke tempat kosnya. Kretek filter kecil yang selalu saja menghias di antara dua bibir tipisnya, menjadi pelengkap polah Ila yang kian terkesan jalang. Idian yang menunggu di teras depan tempat kos Ila hanya dapat menggeleng kepala menyaksikan tingkah gadis yang dinanti sejak tadi. Dengan rasa bangga, Ila memperkenalkan Fidor yang diaku sebagai cowoknya. Idian tak bersikap marah ataupun emosi kepada Akilah. Bahkan lelaki berparas kebapakan ini menyalami dan menyelami identitas Fidor yang baru saja dikenalnya.

“Il, seharusnya kamu lebih selektif dan berhati-hati memilih teman, apalagi teman pria. Sebab, tidak jarang mereka tampak bersikap baik dan mau bersahabat dengan kamu, ternyata di balik itu semua ada niatan jahat. Kehendak busuk dari lubuk mereka yang terkadang kita tidak mengetahuinya. Makanya, kamu harus mengantisipasi dengan sikap kehati-hatian agar tidak terjerumus ke dalam lobang kenistaan. Bahaya Il sebagian laki-laki seperti mereka itu!” Nasihat Idian untuk Akilah setelah Fidor mengangkatkan kakinya tanpa kata basa-basi kepada Idian.

“Huh, sok banget kamu Mas,” sahut Ila.

“Bukan begitu Il. Aku hanya prihatin melihat kondisi kamu sekarang ini. Kamu mungkin tidak menyadari bahwa kini kamu telah betul-betul terjerat oleh kehidupan mereka. Kamu sering pulang malam, pergaulanmu hanya bersenang-senang, dan kamu ikut-ikutan merokok.”

“Mas, apa pedulimu dengan kehidupanku? Aku bertingkah seperti siapapun terserah aku Mas. Toh, aku begini tidak pernah membuat kamu rugi. Lalu apa pedulimu?” Celoteh Ila lagi dengan nada agak tinggi.

“Apa yang dikatakan Mas Idian itu benar kak. Selama ini kakak sudah terlalu jauh bergaul sampai-sampai perkuliahan kakak tidak begitu terurus. Coba itu diingat kak!” Sahut May Ramitis setelah keluar dari kamarnya setelah mendengar langsung perbincangan sengit antara Akilah dan Idian UJ.

“Apa kamu May, masuk sana!” Bentak Ila.

“Kak. Apa yang dikatakan Mas Idian itu benar. Kakak memang selama ini hanya membuang waktu belaka, mencari kenikmatan dan kesenangan semu. Padahal dari siapa biaya itu kak? Cobalah dipikir ! Ayah yang selalu mendanai kita. Itu semua bukan untuk dihamburkan sia-sia. Ayah memperoleh dengan susah payah hanya karena ingin melihat kita dapat dengan mudah menggapai cita kita. Ayah ingin menyaksikan kita bahagia di hari esok kelak dengan segala asa yang selama ini kita impikan. Lalu kalau digunakan percuma, bagaimana perasaan ayah kak?”

“Sudahlah May, kamu jangan berkhotbah. Kamu jangan sok suci May. Aku memang brengsek, anak tidak tahu diri, jalang, najis, kotor, sampah. Puas kamu!”

Melihat pertengkaran kakak beradik mengundang perhatian seisi kos, apalagi nada suara Akilah kian meninggi, Idian segera melerai keduanya.

“Sudahlah, May masuk ke kamar! Silahkan yang lain masuk saja! Ila, sabarkan dirimu, duduk dulu!” Lerai Idian kepada May dan pintanya kepada beberapa penghuni kos putri yang sempat keluar dari kamarnya.   

Sementara Ila sesenggukan setelah duduk bersandarkan pundak Idian. Air mata yang dilihat Idian meleleh di pipi Akilah segera saja diusap dengan sapu tangannya. Malam ini, bagi Ila, benar-benar saat yang menghentak bawah sadar yang selama ini terselubung oleh perburuan kepuasan yang mulai terasa terselimuti kepalsuan belaka. Perkataan Idian, lelaki yang berada didekatnya, dan ucapan May, saudara kandungnya, masih begitu terngiang di gendang telinganya. Kejadian beberapa detik yang lalu itu sedikit demi sedikit mulai menyingkap kebenaran yang selama ini dirasa hilang, sehingga apa yang dilakukan tidak pernah sedikitpun dianggap sebuah kesalahan. Lelaki yang disandarinya kini terasa betul-betul berarti kehadirannya, tidak saja sebagai pembawa kunci pintu kebaikan, tetapi bahkan sebagai pria yang akan mampu menjadi penuntun jalan kelak dikemudian hari.

***

Idian UJ merasa sangat kesulitan untuk menemui Akilah di tempat kosnya. Setiap kali didatangi, ditanyakan kepada saudara atau teman-temannya, atau malah dihubungi sekalipun, Akilah selalu saja sibuk dengan kegiatan kampus atau organisasi. Pada satu sisi, Idian merasa bahagia dengan perubahan Ila yang tampak beranjak positif, namun di sisi yang lain ia merasa gelisah karena antara dia dengan dirinya mulai berjarak. Pendekatannya selama beberapa waktu yang lalu melalui perjuangan dan ketabahan menghadapi sikap cetus dan keangkuhan Akilah, saat-saat sekarang telah membuahkan hasilnya. Tetapi kalau upayanya mendekati dan memperbaiki Akilah terbayarkan, justru perubahan itu sendiri membuat hubungan keduanya merenggang.

“Mas Idian, kak Ila sedang pergi. Duduk saja dulu!” Sambut May setelah keluar dari kamar. Idian seperti biasa langsung duduk di kursi dekat pohon jambu di depan sebelah samping rumah kos ini. Dedaunan rindang pohon jambu yang menutupi sinar lampu tempat kos Akilah menjadi peristirahatan favorit Idian setiap kali bertandang ke tempat ini.

“Oh ya, lagi kemana May?”

“Tidak tahu Mas, katanya sedang mempersiapkan acara seminar GMNI dua hari lagi. Kakak menjadi Sekretaris Panitianya.”

“Kenapa tidak dihubungi saja Mas?”

“Itulah masalahnya, HP-nya jarang diangkat. Makanya aku kesulitan menghubungi dia, May.”

Pertemuan demi pertemuan antara Idian UJ dan May Ramitis yang awalnya hanya bersifat kebetulan belaka, kini mulai terasa akrab. Perbincangan kedua insan yang mempunyai tipologi logis dan ilmiah, begitu mudah terkomunikasikan dengan cepat. Kepribadian keduanya nyaris tak berbeda, mereka sama-sama pembaca dan aktivis di masing-masing jenjang. Perbedaannya hanya terletak pada beberapa sifat menonjol dalam sosok pribadi. Idian cerdas, pandai dan penyabar, sedangkan May pintar, ulet dan kekanak-kanakan. Kadang ulah manja May mulai muncul sesekali, meski pertemuan hanya sebatas perbincangan di depan kos.

Kini perjumpaan Idian UJ dengan May tak hanya terbatas di teras kos, tetapi keakraban keduanya sudah mulai terlihat di warung dekat kampus Idian, perpustakaan, serambi masjid kampus atau taman kampus yang indah dan rindang. Seperti biasa, saat May menyertai Idian ke warung, Idian mengajaknya ke “Warung Pojok Depan” milik Pak Siloh, warung langganannya. Warung dipilih oleh Idian sebab selain menyajikan menu makanan sederhana dan murah-meriah, warung itu juga menyediakan jaringan internet, sehingga warung itu menjadi sangat cocok bagi pengunjung kalangan pelajar kelas ekonomi menengah ke bawah. Warung model begini memang menjamur di sekitar tempat perkuliahan Idian, berjejer nyaris saja berdekatan. Walaupun warung semacam ini sedang tren dengan segala bentuk tampilan, menu dan pelayanan, tetapi pengunjung selalu saja penuh, lebih-lebih malam Sabtu dan Minggu. Sosok Akilah sudah mulai terlupakan di benak Idian semenjak May mengisi lembar-lembar kehidupannya. Bukan saja karena Idian begitu dekat dengan May, tetapi kedatangannya ke tempat kos tak bertemu Akilah ditambah komunikasi sudah terputus menjadikan hubungan keduanya begitu sangat renggang bahkan telah berkesudahan.

Kendatipun May masih duduk sekolah menengah atas, tetapi kepandaian dan kecerdasannya membuat Idian terpikat pada cara berpikir, nalar dan bicara gadis ini. Percakapan keduanya seringkali diwarnai dengan perdebatan dan diskusi sengit dengan topik dan isi pembicaraan yang berbobot. Tidak saja materi pendidikan yang dipelajari oleh May di sekolahnya, tetapi persoalan-persoalan yang menyangkut sosial, politik dan budaya menjadi bahan perbincangan keduanya. Hal yang membuat hubungan keduanya kian karib, meski tidak jarang pokok pembicaraan mereka berdua cukup serius, adalah setiap kali perbincangan selalu diselingi dengan senyum atau gelak tawa.

***

Semenjak Akilah mulai merasakan ada ketenangan dengan perubahan cara hidup yang ia alami selama, ia lebih menikmati kegiatan dan aktivitas positif dengan kesungguhan dan optimal. Ia lebih banyak berada di ruang inap kantor GMNI, tempat organisasi yang ia geluti selama ini. Dari ruangan ini, Akilah banyak melakukan aktivitas-aktivitas rutin keorganisasian, mulai dari administrasi, rapat atau kegiatan lain yang tidak mungkin digarap di tempat kos. Keseriusan disertai hobi, menjadikan Akilah lebih memilih berada di salah satu ruang kantor organisasi kemahasiswaan yang diikutinya ketimbang mondar-mandir antara kantor dan tempat kos, sementara di ruangan ini ia sebagai perempuan tidak sendirian.

Akilah memang sengaja menjauh dari Idian UJ dengan menghentikan segala cara komunikasi, baik melalui pertemuan maupun alat telekomunikasi. Terasa berat menghilangkan raut wajah lelaki itu dari ingatannya, tetapi keputusan seperti ini harus ia lakukan sebab Akilah tidak pantas bersanding seorang Idian UJ, pribadi baik dengan seluruh sifat positif yang dikenal para sahabatnya pada dirinya. Sedangkan Akilah, seorang wanita jahat dengan segala perangai negatif yang seringkali disandangkan pada dirinya oleh banyak temannya. Bagi Akilah, tidak mungkin barang najis harus dicampur dengan sesuatu yang suci. Pada mulanya, ketegaran memilih keputusan demikian ini mengharuskan seorang Akilah menjadikan tetesan air mata sebagai tumbal. Tetapi sejalan roda zaman, air mata mulai mengering sejurus dengan kesibukan yang ia lakoni telah benar-benar menghapus kesedihan yang menghinggapi batinnya. Apalagi kegiatan keorganisasian ditambah teman-teman Akilah dalam satu organisasinya mampu menghantarkan gadis ini pada suasana kegembiraan yang cenderung positif. Kini, Akilah merasa lebih tenang dengan berbagai aktivitas, bagi Akilah, menjadi pelipur lara kalbunya. Perasaan Ila semakin riang tatkala mendengar sekaligus menyaksikan Idian UJ tengah dekat dengan adiknya. Menurut Akilah, masa kini sang kekasih sungguh-sungguh sudah menjadi mantan yang tak lagi kehilangan tongkat. May Ramitis di samping Idian dianggap sebagai titisan melebihi dirinya yang bisa menjelma sebagai sosok pengusap air mata jika sedih, pribadi yang dapat menampung keluh tatkala gelisah dan seorang gadis cerdik yang sanggup mengimbangi kepandaian lelaki itu.

***

Nama Idian UJ benar-benar telah sirna di lubuk hati Akilah, terlebih sesudah Akilah dekat dengan Fidor, jejaka Prodi Bahasa Indonesia, yang sesama aktifitis GMNI. Lelaki yang lebih akrab dengan panggil Mas Fifi ini selain pegiat GMNI pada kegiatan ekstra, ia juga selalu ikut kegiatan teater pada organisasi intra kampus. Di samping pemuda enerjik dalam setiap program organisasi kemahasiswaan, Mas Fifi juga memiliki keahlian bersajak. Kepiawaiannya mengumandangkan syair-syair puisi dalam setiap kali berucap, acapkali ditunjuk oleh teman-teman seorganisasinya untuk mewakili dalam kegiatan atau lomba yang bersifat teaterikal. Bahkan dalam rapat organisasi atau kesempatan berkumpul seringkali Mas Fifi didapuk oleh para sahabatnya untuk menutup acara dengan kata-kata puitisnya.

MALAM YANG GAMANG
 
Sama seperti sebelumnya
Malam-malam gamang
Tinggal aku seorang
Tiada teman ‘tuk tertawa

Biasa lagu merdu dari dara
Iramanya tidak terdengar lagi
Hanya dua burung merpati
Mesra di sangkar beranda senja

Cumbui malam yang gamang
Kidung kicau kiranya
Menjadi alunan tembang
Menghibur hati yang merana

Kuberi senyum padanya
Sebagai tanda terima kasih
Meski aku terluka sungguh
Tertusuk panah asmara

Sajak ini salah satu yang dikumandangkan Mas Fifi tatkala rapat koordinasi malam itu berakhir. Sejak awal Akilah mendengarkan dan menghayati bait demi bait yang terucap dari bibir Mas Fifi. Terenyuh lubuk hati Ila menyimak puisi ini, sehingga tidak terasa butiran air bening telah mengalir di pipinya. Untaian sajak Mas Fifi mampu menghantar lamunan Ila mengarungi pengalaman hidup masa sebelum kenal dengannya. Sesungging senyum menghias di bibir gadis ini kala teringat waktu-waktu kelam menyelimuti dirinya. Ila merasa sekaranglah ia benar-benar menjadi manusia seutuhnya dengan ditandai eksistensinya terasa berguna bukan saja bagi diri sendiri, tetapi kepada sesama pun manfaat itu sungguh begitu menjalar. Dahulu, kebahagiaan diukur oleh seberapa maksimal kesenangan materi didapat, meski terkadang jeritan naluri tak bisa dibohongi. Kini, kebahagiaan cukup diperoleh dengan seberapa banyak hal positif dilakukan, walau kadang-kadang fakta kantong kosong tidak dapat dipungkiri.

***

“Warung Pojok Depan” milik Pak Siloh merupakan salah satu saksi keakraban Akilah dan Fidor selain perpustakaan, serambi masjid kampus, taman kampus yang indah dan rindang atau di kantor tempat mereka beraktivitas. Kecocokan begitu terlihat dari pergaulan yang selalu akrab diiringi suasana serius dan gelak tawa di antara mereka berdua. Tentu saja bukan Fidor namanya kalau dalam setiap berucap tidak diwarnai kalimat indah bernunsa puitis.

MUNGKINKAH 

Mungkinkah sang bayu
berkesiur merdu
Riuhkan
rangkaian cerita tetangmu 
Mungkinkah
luruh dedaunan 
Peristiwa demi peristiwa
pertanda

Bahwa
ialah keabadian cinta yang sesungguhnya
Seolah sang pujangga 
Memintal
jejak sajak dari remang jelaga jiwa
Sungguh
tangguh keinginanmu dapatkan citra

Ingin
sekali kutanggalkan perjalanan 
Cerita
pada lembar hari kalendermu
Berharap agar selalu
lelap kamu 
Dalam
mesranya,  serasa cinta milikmu berdua

Ah . . . ! tampak
senyummu tertusuk panah asmara
Rekah
ranum bibirmu merengkuh luka nestapa
Mencoba
menyimpan lara dalam mahligai asmarandana
Sebagai
tembang pelipur lara yang semakin bertakhta   

Inilah faktor yang menjadikan Ila merasa enggan menjauh dari sanding Fidor. Kebersamaan mereka yang terkesan bagai pinang dibelah dua, seakan tidak ada Fidor jika tak disertai Akilah, membuat rasa cemburu bagi siapa saja yang menyaksikan kedekatan mereka berdua. Bagi Akilah, Mas Fifi tidak saja dianggap sebagai pundak kuat yang mampu dijadikan tempat berkeluh kesah, namun lelaki itu telah menjelma seperti dewa penolong dari setiap keputusasaan yang seringkali menghinggapi seluruh situasi yang dirasakan Akilah. Di mata Akilah, Mas Fifi merupakan perjaka tegas yang bisa menunjukkan solusi alternatif terbaik pada saat ia bertabrakan dengan problematika yang dihadapi dalam setiap kegiatan, baik bersifat personal maupun organisasi. Semangat dan etos kerja acapkali tumbuh setelah tersiram motivasi Mas Fifi. Oleh karena itu, Akilah merasakan kehadiran Mas Fifi di sampingnya merupakan anugerah Tuhan yang tidak boleh ditampik. Tak jarang Akilah menengadahkan tangan memuji Tuhan atas derma-Nya yang tak berkesudahan.

***

Malam Minggu itu Akilah sedang bersama Fidor di “Warung Pojok Depan” milik Pak Siloh.

“Il, aku besok harus pulang. Aku kangen ibu, sudah lama tidak berjumpa,” kata Fidor, setelah sekian lama bercakap dengan Ila tentang banyak hal.

“Ya, gak apa-apa Mas. Tapi jangan lupa telpon Ila kalau sudah sampai di sana,” sambung Akilah dengan nada manja.

“Ila, kenapa kau meragukan wujudku. Angin dan burung pasti ‘kan selalu setia membawa kabar tentang diriku. Percayalah Il, waktu dan tempat tak kan mampu menjadi tembok pemisah di antara kita,” kilah Fidor sambil memanggut dagu Akilah yang tengah tertunduk lesu. Fidor kemudian mengajak Akilah kembali ke kantor GMNI, sebab ia ingin segera bergegas pulang. Akilah menuruti ajakan Mas Fifi, meski sebetulnya berat rasanya berpisah dengan karib yang disayanginya itu.

Sejuta pilu bagai menghujam batin Ila, ia tak mampu berkata sepatahpun, hanya derai air mata yang mengalir deras di pipinya, saat ia mendengar berita lewat telepon dari keluarga Fidor bahwa pemuda itu tewas dalam kecelakaan tabrak lari. Bus yang berjalan dengan kecepatan tinggi menghantam sepeda motor Mas Fifi sehingga terseret sampai sekian meter dari kejadian, dan Mas Fifi meninggal di tempat dengan mengenaskan.

Rupanya, pertemuan di warung itu tanpa disangka menjadi tatap muka terakhir dengan dirinya. Masih terasa bagaimana tangan Mas Fifi memanggut dagunya yang dibalas dengan anggukan manja. Ternyata kata-kata puitis yang diucapkan itu menjadi kalimat terakhir yang keluar dari bibir Mas Fifi, seakan hanya merupakan pelipur lara menutupi tidur panjang yang bakal memisahkan keduanya.

Semenjak hidup Akilah dilalui tanpa Fidor bagaikan kidung tak bermakna. Saat-saat melakukan kegiatan keorganisasian atau kesibukan apapun kerapkali dikerjakan berdua, kini Akilah hanya menyelenggarakan tanpa teman yang benar-benar mengerti tipologi dirinya. Biasanya hari-hari dan waktu yang dilewati selalu saja diwarnai dengan gelak tawa, penuh senyum, ucapan mutiara nan puitis padat arti, baik ketika berdua maupun bersama kawan-kawan seorganisasi. Tetapi kini, minggu demi minggu hanya dialami dalam kesendirian, serasa alam raya ini kian sunyi dan sungguh-sungguh sepi. Sebetulnya para sahabatnya telah berupaya menghibur Ila agar kembali bersemangat menyongsong masa depan dengan ragam motivasi dan dorongan, tetapi segala usaha dari kawan-kawannya tak mampu menjadikan luka Akilah terobati. Semakin banyak petuah yang dinasihatkan, kian membuat mata Akilah tersembab dan pipinya terbasahi.    

***

Sejak hidup dalam rasa kesepian, gundah gulana tak lagi sirna dalam lubuk yang paling dasar, semenjak itu pula badan Akilah kian kurus kering akibat serangan komplikasi yang menggerogoti kebugaran tubuhnya. Bak jasad hidup, postur Ila hanya tinggal tulang dibalut kulit belaka, pipinya keriput dan matanya cekung, sehingga pada akhirnya, Ila harus rela berada di atas kursi roda akibat lumpuh kaki yang dideritanya.

Kadang terbayang dalam pikiran seorang Akilah harus menghentak, menjerit dan menggugat Tuhan. Kenapa Dia menggariskan hidup sekian manusia terjerembab dalam lubang kesengsaraan di antara banyak insan yang tegak di altar kebahagiaan? Mengapa Dia pastikan aku terkurung dalam jeruji kesenyapan, sementara adikku Dia posisikan sebagai ibu rumah tangga dari keluarga yang tenteram dan sejahtera?

Akilah hanya sanggup menunduk setelah tanpa terasa tape recorder-nya sudah tak berbunyi lagi. Ternyata tanpa disadari oleh Akilah, nyanyian Ebiet G. Ade telah selesai. Untuk kesekian kali, butiran air hangat menetes di pipi Ila seusai tersadar dari lamunan masa silam itu. Dengan menghela nafas panjang, ia kembali memutar tasbih yang selalu setia menemani tangannya yang kian mengering. Selaras putaran tasbih itu, kalbu Akilah menyebut dan memanggil-manggil nama Tuhan, kendati matanya terpejam dan mulutnya membisu seribu bahasa.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

2 komentar:

  1. Panjang, yaa :D
    Tapi keren banget tulisannya :)
    Teruslah berkarya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul. Panjangnya keterlaluan.
      Terima kasih sudah berkunjung.
      Mari berbagi
      :)

      Delete

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top