Saturday, May 10, 2014

Toleransi untuk Indonesia

6:18 PM


Komentar atas buku Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme,
Kazuo Shimogaki LKiS, 1993 

Oleh: Yahya Hayat
 
Pentingnya Revitalisasi Khazanah Islam Klasik
Ketika kita bicara seorang Hassan Hanafi, setidaknya setelah kita mengenalnya dari tesis yang beliau tulis “Al-Yasâr al-Islâmî: Kitâbât fî al-Nahdlah al-Islâmiyah,” beliau adalah seorang modernis—meminjam istilah Kazuo Shimogaki dalam buku ini. Artinya, dia adalah seorang pembaharu Islam yang berpendapat bahwa seharusnya orang-orang Islam melakukan revitalisasi khasanah Islam klasik untuk kemajuan orang-orang Islam itu sendiri. Beliau termasuk orang yang gelisah atas budaya orang-orang muslim yang hanya bertumpu pada teks-teks yang ada dalam ilmu klasik.

Sebenarnya ketika kita berbicara revitalitalisasi khasanah  Islam klasik, pintu untuk merealisasikan metode ini sangat terbuka semenjak zaman dahulu setelah periode Muhammad ibn Jâbir ath-Thabarî (w. 310 H.). Dia adalah seorang tâbi‘ at-tâbi‘în penulis kitab Jâmi‘ Al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân. Beliau adalah seorang ahli tafsir pada masanya, yang mana pada periode sebelum Ath-Thabarî para mufassir hanya bertumpu pada riwayat yang ada. Metode seperti ini disebut juga tafsir bi al-ma’tsûr dan berlangsung sejak zaman para sahabat Nabi Muhammad, sehingga menafsiri Alquran harus mempunyai sanad yang tersambung pada Nabi Muhammad. Namun pada periode setelah Ath-Thabarî ini kebiasaan menafsiri Alquran dengan ketentuan di atas mulai dikembangkan dengan munculnya metode tafsir bi ar-ra’y atau disebut juga tafsir logika, hanya dengan catatan tetap menitikberatkan relevansi dan korelasinya dengan Alquran atau hadis.

Setelah munculnya metode ini pintu untuk merevitalisasi khasanah Islam klasik sangat terbuka lebar. Untuk mengingat pengetahuan tentang kedua metode di atas, kami coba menerangkan kedua metode tersebut:

- Metode Tafsir Riwayat (bi al-ma’tsûr). Dalam metode ini seorang mufassir menjelaskan suatu ayat sebagaimana yang ia dengar dari Nabi Muhammad. Maka tak heran bila penafsiran dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis dan sangat jarang seorang mufassir menyelipkan pendapat pribadinya.

- Metode Tafsir logika (bi ar-ra’y). Di atas telah kami sebutkan bahwa, metode Tafsir Riwayat atau tafsir bi al-ma’tsûr berlangsung sejak zaman para sahabat sampai tâbi‘ at-tâbi‘în dan mulai pudar pada priode Ath-Thabarî. Pasca periode Ath-Thabarî, khususnya pada masa keemasan peradaban Islam dan semakin majunya Ilmu pengetahuan, muncullah corak penafsiran yang menitikberatkan pada penggunaan akal namun tetap memakai landasan Alquran dan hadis. Corak penafsiran seperti inilah yang dikenal dengan metode tafsir bi ar-ro’y, penafsiran dengan rasio.[1]

Namun kedua metode tafsir di atas masih harus mengikuti ketentuan yang berlaku, antara lain seorang mufassir harus mengetahui atau menguasai (1) ayat makkiyyah dan madaniyyah, (2) kalam ‘âm dan kalam Khâshsh, (3) ilmu Ma‘ânî, Bayân, Badî‘ dan sebagainya (diwakili oleh Ilmu Balâghah), (4) gramatika bahasa Arab (Nahwu dan Shorrof), (5) asbâb an-nuzûl, (6) Nasikh dan Mansukh, (7) ilmu Mauhibiyyah, (8) ayat mujmal dan mubham, (9) Ushuluddin, dan (10) Ushul al-Fiqh.[2]

Dengan munculnya metode yang kedua di atas sangat mungkin bagi kita untuk merevitalisasi teks-teks khasanah Islam klasik yang ada sebagaimana keinginan Hassan Hanafi, apalagi dalam persyaratan yang tertulis di atas harus menguasai ayat makkiyyah dan madaniyyah. Hal itu menunjukkan seharusnya metode penafsiran tidak mengesampingkan letak geografis untuk memecahkan suatu masalah.

Sehingga terbuka pula bagi kita untuk menafsiri Alquran dengan menyesuaikan fenomena atau masalah yang harus diselesaikan dengan tidak mengesampingkan letak geografis di mana permasalahan itu berada, karena sudah barang tentu permasalahan yang ada pada suatu tempat atau kawasan tertentu tidak sama dengan permasalahan tempat atau kawasan yang lainnya. Walau bagaimanapun, masalah itu sangat mungkin dipengaruhi oleh budaya, lingkungan, ras, agama, dan macam-macam perbedaan lainnya yang sangat kompleks.

Mengubah Makna Hakikat keesaan Tuhan untuk Indonesia: Toleransi.
Sangat menarik ketika membaca tulisan Shimogaki yang membahas tentang hakikat keesaan Tuhan, Shimogaki mencoba mengarahkan arti dari keesaan Tuhan itu adalah “penyatuan”. Secara implisit hal itu mungkin benar, karena ketika kita berbicara Agama sudah barang tentu di sana sangat erat kaitannya dengan “Tuhan” dan apabila yang disebut Tuhan dalam pembahasan itu adalah “Allah” maka yang dibahas adalah agama Islam, sedangkan agama Islam sendiri dideklarasikan oleh penganutnya sebagai agama yang “universal” yang tidak hanya menampung golongan, kawasan, ras, dan sebagainya yang membuat agama itu sendiri menjadi sempit.

Setelah ini, Shimogaki berangapan, ketika berbicara agama berarti di situ adalah “Islam”. Begitu pula ketika berbicara Tuhan berarti di situ adalah “Allah yang Maha Esa” dan bukan yang lain.

Benarkah esensi dari arti keesaan Tuhan itu adalah “penyatuan”? Melihat dari konteks agama Islam sendiri, hal itu sebenarnya tidak berlebihan karena Islam sangat menganjurkan toleransi yang tidak mengkhususkan kalau Islam itu hanya untuk orang Arab atau untuk orang timur-tengah, untuk orang kulit putuh, dan lain-lain. Tidak! Islam tidak begitu! Tapi bukan berarti di situ dia mengatakan Islam adalah Agama untuk menyatukan semua Agama karena sudah jelas dari hikayat yang kita kenal ketika Rasulullah diajak untuk saling menjalankan agama secara bersamaan (baca: menggabungkan), Rasulullah dengan tegas menolak hingga turunlah surat Al-Kâfirûn yang isinya:

Katakanlah: Hai orang-orang Kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah tuhan yang aku sembah, untukmulah agamamu dan untukkulah agamku.[3]
Melihat dari teks ayat tadi, sudah sangat jelas bahwa tidak dibenarkan orang yang mengatakan semua agama itu benar hanya karena berlandaskan dari arti “keesaan Tuhan” yang berarti “penyatuan”. Tapi tidak dibenarkan pula bagi orang-orang Islam berniat membumihanguskan orang-orang di luar Islam hanya karena mereka tidak menjadi Islam, karena sangat dilarang oleh Tuhan dengan turunnya ayat:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar pada Thaghut[4] dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar dan maha mengetahui.[5] (Al-Baqarah: 256)
 Dan sikap toleransi itu digambarkan oleh Nabi dengan adanya wasiat pada para sahabat sebelum menyerang orang-orang kafir dalam perang Mu‘tah karena mereka membunuh utusan Rasul.

Rasul berwasiat: kalian akan bertemu dengan orang-orang yang berada di gereja terpencil, janganlah kalian menghalangi aktivitas mereka dan janganlah kalian membunuh para perempuan, anak kecil, dan orang tua yang lumpuh, dan jangan pula kalian memotong pepohonan dan merobohkan bangunan.[6]
Sudah sangat jelas dengan adanya ayat, hadis dan hikayat itu bahwa Islam sangat menganjurkan sikap toleransi dan dilarang mengganggu aktivitas orang-orang di luar Islam, dengan catatan mereka tidak mengganggu aktivitas orang-orang Islam sendiri. Meskipun begitu, tidak dibenarkan kita mengatakan semua agama itu benar hanya karena bercermin pada sikap tokeransi beliau.

Yahya Hayat
Santri di PP. Raudlatul Ulum I Malang



[1] M.Fikri el Hakim, Penakluk Kesesatan.
[2] Dari bermacam-macam sumber
[3] al-Qur’an dan Terjemah
[4] Syaitan dan jenis benda lain yang di sembah
[5] al-Qur’an dan Terjemah
[6] Umar Abdu al-JAbbar, Kholashotu nuri al-Yaqin, Juz dua.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top