Tuesday, May 6, 2014

Merindukan Santri* yang Melek Politik

1:47 PM




Oleh: Siti A’isyah 

Fenomena PKB saat ini (tahun 2004) menjadikan citra politik santri terpuruk. Visi besar PKB tentang Demokrasi dan Pluralisme terkubur oleh perilaku politik yang tidak dewasa oleh kadernya. Akibatnya, politik santri yang pada sejarah Indonesia menorehkan tinta emas, akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam yang negatif. Apa yang terjadi dengan santri kita dengan kesadaran politiknya ?

Nah, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengajak santri menjadi politisi atau terlibat secara langsung dalam percaturan politik praktis. Pun tidak berniat untuk mengajarkan santri berebut kekuasaan. Penulis hanya ingin menumpahkan keresahan tentang betapa kebutaan kita akan politik, ingin berbagi tentang arti pentingnya politik, juga tentang efek politik dalam kehidupan, tidak hanya dalam kehidupan publik tapi juga dalam sisi hidup kita yang paling privat (pribadi).

Politik?
Membicarakan politik dalam proses pendidikan pesantren tidak dianggap penting atau bahkan tabu. Terlihat dari literatur yang diajarkan di pesantren tidak bersentuhan dengan  tema-tema politik. Tak perlu jauh-jauh, di pesantren kita saja, literatur yang dibaca tidak jauh dari ilmu alat, fiqh atau tasawwuf. Literatur Islam klasik yang membicarakan tentang politik, semisal al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi tidak terlalu dikenal di kalangan pesantren karena memang tidak dianjurkan untuk dikaji, sebagai literatur sekunder sekalipun.

Hal tersebut tidak dapat terlepas dari adanya anggapan bahwa politik adalah cara memperebutkan kekuasaan. Bahwa berbicara tentang politik berarti berbicara tentang kekuasaan negara dan  birokrasi. Asumsi tersebut tidaklah salah, tapi tidak sepenuhnya tepat. Politik tidak hanya membicarakan hal tersebut tapi, jauh lebih mendalam, politik juga menyentuh bahkan menentukan persoalan-persoalan yang paling pribadi.

Manusia adalah “zoon politicon” makhluk berpolitik, tidak bisa menghindari politik. Sebuah ungkapan lain menyebutkan “Personal is political”. Kalimat tersebut bukan sekedar jargon, tapi memiliki makna yang dalam. Bahwa setiap orang adalah politis. Setiap diri orang memiliki posisi politis, memiliki kepentingan politis, dan digunakan untuk kepentingan politik. Dengan kata lain setiap individu adalah subjek sekaligus objek politik. Contoh yang paling sederhana; seorang remaja putri bernama A ingin berkulit putih, berpakaian seksi, menggunakan bahasa “lu gue”, bangga bila jalan-jalan dan belanja di mall. Sepintas lalu, hal tersebut dianggap wajar karena lingkungannnya mengajarkan demikian. Bila dilihat dari sisi agama dia mungkin dianggap minus. Namun dilihat secara kritis, dia adalah korban politik.

Politik apa? Bila ditelusuri, Si A tersebut korban bahasa iklan bahwa orang cantik adalah yang berkulit putih, memiliki tinggi badan tidak kurang dari 160 cm, dengan berat badan tidak lebih dari 45 kg. Akhirnya dia membeli segala macam produk pemutih dan peninggi badan, obat pelangsing dan sebagainya. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja si pembuat iklan yang tak lain perusahaan besar yang memproduksi kosmetik dan obat-obat kecantikan, serta pemilik mall-mall yaitu para konglomerat yang memperoleh modal dengan cara kongkalikong dengan penguasa. Dalam diri si A tersebut paling tidak ada empat kepentingan politik yang bermain, yaitu:

Pertama, politik budaya. Budaya adalah bentukan manusia berdasarkan kebutuhannya. Budaya belanja dan jalan-jalan si A di mall untuk membeli kosmetika dan mengikuti mode dilakukan karena dia merasa butuh untuk menunjang ke-PD-annya. Persoalannya adalah kebutuhan itu ternyata juga diciptakan dan dijejalkan dari luar; dari iklan, konsep kecantikan serta kepercayaan diri yang disandarkan pada materi. Tanpa sadar ia menjadi korban dari hegemoni politik budaya.

Kedua, politik media. Penanaman budaya tersebut dilakukan melalui media yang tiap hari dilihat dan disaksikan oleh mata setiap orang, seperti televisi, media cetak, radio dan sebagainya. Media-media  berlomba mendapatkan iklan, karena semakin banyak iklan akan semakin pemasukan yang diperoleh untuk biaya kelangsungan medianya.

Ketiga, politik ekonomi. Semua itu berujung pada politik ekonomi. Penjajahan saat ini bukan penjajahan politik pemerintahan tapi penjajahan ekonomi melalui politik ekonomi. Bukan satu negara menjajah negara yang lain, tapi TnCs** yang menjajah negara-negara.

Keempat, politik kebijakan negara, yaitu ketika negara memutuskan memberikan modal pada para pengusaha untuk membangun mall-mal di berbagai daerah tanpa mempertimbangkan tingkat kebutuhan maupun kondisi ekonomi rakyat kecil. Yang dibangun bukan hanya gedung mall, tapi juga pola pikir dan gaya hidup masyarakat.

Satu contoh yang sudah massif di depan mata kita adalah HP (Handphone). Kebutuhan akan HP menjadi sulit dihindari karena alasan efisiensi dan efektifitas yang ditanamkan oleh pola pikir modern. Di kalangan tradisionalpun kebutuhan itu tumbuh subur karena image. Akhirnya semua orang menjadi butuh HP karena tanpa HP ia akan tertinggal banyak informasi. Penulis sendiri mengalami ketika masih kuliah di Jogjakarta. Kelas perkuliahan dikendalikan dengan HP. Jika dosen berhalangan hadir maka cukup mengirim SMS kepada semua anggota kelas. Penulis yang tidak memiliki HP akhirnya sering “kecele” karena hadir di kelas seorang diri atau penulis akan absen di kelas yang diadakan secara mendadak juga melalui HP. Karena itulah akhirnya penulis mau tidak mau harus memiliki HP (meskipun uang yang dimiliki pas-pasan) agar tidak ketinggalan pelajaran. Penulis sadar bahwa dengan memiliki HP penulis adalah korban politik ekonomi yang mau tidak mau harus terus membeli pulsa agar nomor tidak hangus meskipun kondisi keuangan sedang sempit. Seperti itulah politik mempengaruhi pola pikir, cara bertindak, bahkan tubuh manusia sendiri, dengan disadari atau tidak.

Kenapa santri harus melek politik?
Paparan di atas dapat kita tarik pada kehidupan santri yang notabene adalah manusia. Setiap santri adalah individu yang berarti merupakan subjek sekaligus objek politik. Sebagai subjek politik, setiap santri memiliki kepentingan untuk keberlangsungan dan eksisitensi dirinya. Sementara sebagai objek politik --seperti si A yang menjadi korban tanpa sadar atau penulis sendiri yang menjadi korban dengan penuh kesadaran-- dalam keseharian santri pengaruh politik dapat dilihat secara kasat mata. Mulai dari kepentingan politik yang paling kecil, seperti kepentingan perorangan, hingga politik kebijakan negara.

Yang kedua, dalam fakta sejarah, Islam tidak pernah lepas dari politik. Dalam menyampaikan syiar Islam, nabi saw. juga menggunakan politik, seperti da’wah bi al-sirr ketika masih lemah hingga da’wah bi al-jahr ketika posisinya sudah menjadi kuat. Terlepas dari bahwa metode itu adalah wahyu, politik juga telah digunakan oleh Junjungan kita itu. Begitu juga dalam dinamika perjalanan selanjutnya, perkembangan Islam sangat lekat dengan politik.

Yang ketiga, santri juga merupakan sekelompok orang yang memiliki posisi politik yang penting di mata kekuasaan. Hal ini terbukti sejak masa penjajahan asing di Indonesia, pesantren adalah kekuatan yang sangat diperhitungkan. Begitu juga pasca penjajahan asing, pesantren memiliki suara yang sangat diperhitungkan di panggung politik negara.

Tujuan santri melek politik?
Seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, tujuan santri melek politik bukan untuk ikut-ikutan berebut kue kekuasaan sebagaimana yang mengemuka belakangan ini. Tujuannya adalah agar; pertama, santri mengetahui posisinya secara politik, terutama di hadapan kekuasaan (sosial, ekonomi, budaya, politik). Ketika seseorang sudah tahu posisinya maka ia akan memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak dapat lagi diperalat oleh kekuasaan. Kekuasaan ini, sekali lagi, tidak hanya kekuasaan yang dimiliki oleh negara dan birokrasi, tapi juga kekuasaan-kekuasaan simbol yang kita lahap setiap hari, setiap saat. Bukan hanya kekuasaan yang menggunakan pemaksaan dan kekerasan tapi juga kekuasan yang halus (hegemonik).

Kedua, Tahu bagaimana menentukan sikap dan kemana harus berpihak. Ketika kita sudah tahu siapa yang menguasai siapa, maka kita akan tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Dengan demikian kita juga tahu kepada siapa harus berpihak. Pemihakan ini bukan lagi pemihakan yang naif tapi pemihakan secara sadar karena diawali dengan pembacaan dan analisis yang kritis.

Ketiga, Membangkitkan semangat untuk melawan. Perlawanan di sini tidak identik dengan perlawanan secara fisik. Perlawanan bisa diartikan dengan ghirah untuk merubah keadaan. Perlawanan yang paling efektif justru lahir dari perlawanan yang menggunakan simbol-simbol. Dalam sebuah novel karangan Dan Brown yang berjudul Malaikat dan Iblis disebutkan bahwa musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang diremehkan.  

Bagaimana agar santri melek politik?
Tidak ada kesadaran yang tumbuh dari kebodohan. Segala jenis kesadaran hanya dapat muncul dari pengetahuan. Karena itu kunci agar santri dapat melek politik adalah menanamkan pengatahuan. Pertama, Penanaman dasar pengetahuan agama yang kuat dan luas. Hal ini tentu saja tidak cukup dengan mempelajari bahasa dan fiqh saja, tapi juga tafsir, metodologi studi agama Islam serta penanaman etika (atau lebih tepatnya) moral.

Kedua, Pengetahuan umum yang memadai terutama pengetahuan sejarah (baik sejarah Islam maupun sejarah Indonesia) dan pengetahuan tentang realitas masyarakat. Dengan belajar sejarah kita jadi tahu asal diri, kita juga tahu tentang asal mula munculnya suatu realitas. Hal ini menjadi penting untuk menentukan langkah yang akan diambil. Namun hal ini harus dibarengi dengan cara pembacaan yang kritis sehingga tidak menciptakan musuh-musuh atau korban-korban yang keliru. Karena itu penanaman perspektif kritis dalam membaca realita menjadi keharusan yang ketiga.

Yang ke empat, penanaman pengetahuan politik dan kewarganegaraan (civic education) bagi santri. Karena bagaimanapun, pada level politik negara, santri adalah subjek sekaligus objek politik yang harus tahu kewajiban dan, terutama, hak-haknya.

Dengan pengetahuan dan kesadaran, maka diharapkan santri memiliki visi dan karakter yang kuat dalam mengarungi perubahan. Terlebih ketika santri harus terlibat dalam politik praktis (kekuasaan negara). tidak seperti saat ini, santri yang masuk dalam politik justru terseret dalam arus perebutan kue kekuasaan sementara tugas awal sebagai pemegang amanah rakyat terabaikan.

Last but not least, keterbukaan pesantren terhadap wacana-wacana baru sudah tidak dapat dihindari lagi agar pesantren tidak lagi menjadi katak dalam tempurung. Perubahan  dalam berbagai aspek saat ini (terutama tekhnologi beserta imbasnya terhadap kehidupan dan perilaku masyarakat) sudah berlangsung dalam hitungan detik dan tidak dapat lagi direm. Hal itu tentunya tidak dapat lagi dihadapi oleh pesantren hanya dengan satu sudut pandang tapi harus dilihat dari berbagai perspektif, salah satunya adalah perspektif politik. Dengan begitu pesantren tidak hanya akan menghakimi tapi juga dapat memahami dan memberikan solusi yang tepat. Dengan sikap demikian, maka dapat dipastikan bahwa pesantren akan kembali menemukan ruh awalnya sebagai motor penggerak umat di Indonesia.


*Yang dimaksud santri di sini bukan hanya santri yang sadang nyantri di pondok pesantren tapi juga santri yang sudah hidup di masyarakat (alumni santri)
 
**TnCs (Transnational Coorperations=Perusahaan-perusahaan multinasional) adalah perusahaan-perusahaan raksasa yang ruang usahanya sudah lintas negara, contohnya adalah perusahaan Unilever dan Freeport

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

2 komentar:

  1. Bagi kalangan santri sangat diprlukan doktrin dri para kiai/nyainya sebagai suplemin/semangat, hal yg positif dengan adanya tulisan ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai doktrin atau fatwa, mas Yahya, melainkan sebagai pemantik perenungan. Diharapkan, tulisan ini akan dikembangkan melalui tukar argumentasi.
      :)

      Delete

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top