Friday, December 27, 2013

Kemana Kau, Perempuan?

5:10 PM

Alamanda. credit: blog
Oleh: Halimah Garnasih

Kamu berubah semenjak mengenalnya. Tapi kamu bilang kamu yang sekaranglah kamu yang sebenarnya. Sebelum perubahanmu ini, kamu adalah perempuan periang, lincah, dan spontanitas. Tapi sekarang, kamu jadi pendiam, gerakmu lebih halus, dan terkesan malu-malu.

Kami sebagai temanmu khususnya aku, sangat merasa aneh dengan perubahanmu ini. Sudah sangat sulit sekali kamu bisa keluar malam seperti biasanya. Nongkrong di warung kopi sambil membincangkan artikel, puisi ataupun cerpen teman-teman kita yang hari ini termuat di media. Mengamati dan mendiskusikan perkembangan atau lebih tepatnya kemerosotan bebera aspek negara kita.


Kamu  lebih suka mengurung diri di rumahmu pada saat malam hari. Saat suatu kali kami tanyakan  tentang profesi dan kesibukanmu sekarang, kamu hanya tersenyum dan menjawab dengan satu kata: memasak. Tentu kami sangat terkejut mendengar itu. Karena kami tahu, kamu, perempuan yang dalam. Perempuan yang suka keheningan. Karena seperti katamu pada kami, hanya keheninganlah yang paling mengerti segala warna gejolak di dadamu. Segala warna emosi di jiwamu. Segala warna kegelisahan di sukmamu. Dan memasak, bagimu adalah hal yang membuang-buang waktu. Katamu, dengan duaribu perak nasi kucing, sudah bisa menyumbat lambungmu. Sekalian berbagi rizki dengan masyarakat sipil.

Kami tahu itu. Kami teman-temanmu yang sangat paham bahwa saat siang hari kamu adalah perempuan lincah, periang, dan menggemaskan, lalu malam adalah tempat kamu menjelma sebagai perempuan puitis, perempuan romantis. Kami tahu, kala malam tiba, dan bulan penuh sedang menggandul di langit, kamu, di depan rumahmu, di bawah pohon kamboja, menulis pusi. Atau kadang, menggigit bibir terbawa arus emosi cerpen yang kamu baca. Juga sering diam-diam kamu menangis dalam, setelah usai membaca novel. Kami juga tahu, bunga-bunga mawar dan alamanda di depan rumahmu selalu menikmati emosi yang keluar dari suaramu saat membaca puisi. Itu indah sekali, Kawan. Kami mencintai hidupmu yang itu. Kami bahagia pada bahagiamu. Tapi sekarang ... kenapa? Kenapa, Kawan? Kamu hilang. Kamu bukan kamu, Perempuan!.

Kini, tentu saja, malam-malam lewat dengan begitu ganjil. Di jembatan Sayyidan ini, kami habiskan malam-malam dengan gamang. Mahmoed memang tetap menabuh jimbenya. Tapi sungguh, tabuhannya tak bergairah. Di telingaku terkesan bukanlah tabuhan jimbe tapi bunyi perutnya yang lapar. Laila, memang masih memainkan biolanya, tapi kamu juga mesti tahu, biola itu menangisi ketiadaanmu. Air matanya berjatuhan dan menyatu dengan air sungai Gajah Wong atau mungkin juga air Kali Code. Aku bisa memahami perasaan biola itu. Baginya, persatuan melodinya dengan bulan biru adalah segalanya. Tapi tanpamu di malam-malam kami, bulan itu tidak menoleh sekalipun. Dan itu artinya, melodi biola Laila, tak menemukan gairahnya. Tentu saja bulan itu tak menoleh, selama ini, ia ada karena ingin menyorongkan cahayanya pada tarian-tarianmu. Ia merasa ada, karena melihat keayuan cahayanya saat menyorongkannya pada gemulai tarianmu di bawah langit.

Kamu, kembalilah. Tak hanya Jimbe Mahmoed dan Biola Laila yang lesu. Sulingku pun seakan kehilangan Jiwa. Begitu juga dengan teman-teman yang lain.

Suatu malam, kami sangat bersuka cita saat melihat seorang perempuan yang berjalan di samping Munir adalah kamu. Jalanmu santai, senyummu sederhana, tapi jelas terpancar kebahagiaan yang sedang bermekaran di sana. Celana jeansmu telah berganti rok yang sepadan warnanya dengan baju dan kerudungmu. Aku, Mahmoed, Laila dan juga teman-teman yang lain tercengang saat kamu semakin dekat dengan meja kami. Warna bajumu. Warna bajumu yang dari jauh tadi nampak warna gelap—warna-warna yang sering kamu pakai—ternyata berwarna pink. Rok, baju, dan kerudungmu berwarna pink!Pink!

Kamu duduk dengan halus di samping  Laila. Tapi jujur, entah mengapa aku lebih suka cara dudukmu sebelum ini, yang apa adanya. Dan apa itu? Aduhai, sebuah dompet mungil berwarna pink dengan gambar bunga-bunga ada di tanganmu. Hai, Perempuan, Kawanku, kemana tas ranselmu? Tas ransel yang selalu berat karena berisi banyak buku-buku bacaanmu. Buku-buku yang selalu saja ingin kamu sharekan kepada kami.

Keterjutan kami berlanjut saat pelayan meletakkan satu gelas tinggi juz alpukat. Kamu meminumnya dengan senyum yang tersembunyi di sana. Aku dan Laila yang sangat tahu kamu tak menyukai alpukat, saling pandang. Bukan juz alpukat, Kawan. Kopi pahitlah teman galau dan bahagiamu! Oh, kamu berubah. Kemana, Kau, Perempuan?

Dan pada sebuah hari. Sebuah hari yang membuat kami—teman-temanmu—paham. Kami diam-diam masuk ke rumahmu. Tentu saja alamanda dan kamboja yang menyambut kami di pagi yang cerah. Kami masuk tanpa mengetuk pintu. Tapi tak kutemukan kamu di ruang tamu, di kamar, di perpustakaan, dan di kebun belakang. Ayunan putih di depan kolam renang yang bersetting alami, bergeming. Tak ada buku berceceran seperti biasa di sana. Hanya bunga kamboja putih yang berguguran di sana. Mempercantik halaman belakang rumahmu.

“Kalian dengar itu?” Laila mengejutkan kami.

Ya, kami mendengar suara khas minyak di dalam penggorengan saat ada sesuatu di masukkan ke dalamnya. Dan hmm.... kami yang kelaparan ini terbuai dengan bau gurih masakan ini. Alamak.... kami lupa denganmu, Kawan. Kami, teman-temanmu yang lapar ini melangkah. Mencari sumber bau gurih nan lemak ini.

Sampai di depan dapur kami terhenti. Tecengang. Kami melihatmu dan seorang lelaki sedang meremas-remas olahan kentang dalam satu wadah. Kamu dan dia sama-sama diam. Khidmat pada pekerjaan masing-masing atau khidmat pada perasaan masing-masing. Kami, khususnya aku, paham, Kawan. Kalian berdua sedang tersihir suatu perasaan yang halus sampai-sampai kehadiran kami dari tadi tidak kalian sadari. Kamu dan lelaki itu sedang berenang di sungai yang paling pribadi. Di sungai perasaan yang hanya milik kalian berdua. Kamu dan dia sama-sama tertunduk menatap olahan kentang dalam wadah itu. Sesekali melempar senyum jika tangan atau jemari kalian bersenggolan. Dan tiba-tiba aku merasa sakit membayangkan jantung kalian berdegup-degup cepat tapi lembut. Apa mungkin aku cemburu? Ah! Bajigur! Jangan! Kamu hanyalah temanku. Temanku yang paling spesial.

Kami paham, Kawan. Kami paham. Lalu dengan isyarat dan langkah halus, kami tinggalkan dirimu dengannya. Kami tinggalkan dirimu yang sedang berlayar bahagia bersamanya. Kami tinggalkan. Kutinggalkan.

Sebelum benar-benar kakiku keluar dari pagar rumahmu, kupandangi bunga alamandamu. Dan mereka bergoyang pelan seakan mengatakan selamat tinggal. Aku hanya bisa mengangguk. Laila yang tahu perasaanku, memandangku sayu. Ia julurkan karet dan kukucir rambut gondrongku.

Malamnya, kupetiki sinar gitarku. Menyanyikan lagu seorang dalang. Titi Kala Mangsa. Bulan penuh yang menggantung di langit kuyakini juga bulan penuh yang sedang dinikmatimu dan lelaki itu di depan rumahmu. Ah, Aminah!

Yogyakarta, 19 Mei 2013

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top