Monday, October 14, 2013

Hidden Paradise; Sebuah Catatan Perjalanan

4:31 PM

Oleh: Muhammad Hilal

hidden paradise, difoto dari tebing. By: cupid



Setelah berkali-kali berbincang soal persiapan, akhirnya hari itu (13.10.2013) kami berangkat ke Poktunggal, sebuah lokasi wisata pantai di Yogyakarta yang baru-baru ini jadi bahan perbincangan. Selama 2 jam kami berempat berkendara sepeda motor.

Lokasi-lokasi pantai yang biasanya jadi tujuan para wisatawan di Yogyakarta tak lagi menyenangkan. Ramainya minta ampun! Apalagi saat itu bertepatan dengan liburan panjang, pengunjung luar Yogyakarta tentu berduyun-duyun ke situ. Kabarnya, Poktunggal belum begitu dikenal banyak orang, makanya kami ke sana.

Kokop, Drini, glagah, Indrayanti kami lewati dengan perasaan jengah. Benar adanya, tempat-tempat itu dipenuhi orang-orang tak ubahnya pasar malam. Tempat parkir penuh sesak dengan kendaraan berbagai macam jenis. Bahkan jalanan pun macet, karena bis ukuran besar harus berbagi jalan dengan bis lain. Jika kamu mau ke pantai bertepatan dengan hari libur panjang, jangan sekali-kali melupakan pertimbangan ramainya pengunjung ini.

Pantai Poktunggal adalah lokasi wisata pantai yang terbilang baru, terletak di ujung paling timur, melewati Indrayanti. Lokasi-lokasi wisata pantai di Yogyakarta selalu memiliki hamparan pasir yang dibatasi bukit-bukit. Jika kamu memanjat bukit itu dari pantai paling ujung barat ke arah timur, lama-kelamaan kamu bakal sampai di lokasi wisata pantai selanjutnya. Begitu seterusnya hingga akan mencapai Poktunggal ini, ujung pantai wisata yang paling timur—setidaknya untuk sementara ini.

Mungkin dengan cara begitulah Poktunggal ini tiba-tiba menjadi lokasi wisata. Ada seseorang yang iseng memanjat bukit bagian timur Indrayanti, lalu dia mendapati sebuah hamparan pasir yang sangat bagus. Lalu hamparan itu dia sebarkan, entah dari mulut ke mulut atau melalui media sosial. Lalu orang-orang berduyun-duyun datang ke situ. Lalu penduduk setempat bikin warung-warung di situ karena ramainya pengunjung menjanjikan tambahan pemasukan buat mereka. Lalu jadilah tempat itu lokasi wisata melalui sebuah surat keputusan resmi.

Jalan masuk ke pantai ini masih belum dilapis aspal, masih cuma batu-batu biar tak licin pas kehujanan. Di situ ada kotak sumbangan seikhlasnya. Saya anjurkan, kalau kamu ke pantai ini, berilah sumbangan sekadarnya. Pemerintah memang seharusnya bertanggung jawab, tapi pengunjung seharusnya ambil bagian juga.

Memasuki hamparan pasir Poktunggal, kami agak kaget. Tempat itu juga ramai pengunjung. Tempatnya memang bagus, pasirnya putih, ombaknya bergelora, anginnya menghembus wajah-wajah kami. Tapi pengunjung sudah lumayan ramai….

Ya sudah, berhubung sudah sampai di situ kami lanjut masuk saja. Lagian, keramaiannya tak separah di pantai-pantai lain. Masih mendinglah untuk benar-benar berwisata, benar-benar menikmati alam.

Dari arah sini kamu bisa jalan-jalan di atas pasir yang lembut sambil foto-foto, atau langsung loncat ke air, atau bisa juga cuma duduk-duduk di bawah payung yang disewakan penduduk. Tapi saat itu kami tidak melakukan semua itu. Kami berjalan ke arah timur.

Di ujung timur pantai Poktunggal, akan kamu temui bukit Panjung. Dari situ kamu bisa lihat keindahan laut dari ketinggian. Untuk mendakinya, penduduk (dan mungkin pemerintah juga) sudah bikin tangga yang terjal, lalu sebuah lorong di tebing yang curam. Kerja orang-orang ini patut dihargai, mereka membuat lorong itu dari kayu-kayu yang dipaku dan diikat sederhana. Saat kamu perhatikan lorong itu dari ujung, kamu akan mendapat kesan seperti sedang memanjat tebing menuju kuil suci shaolin, macam di film-film mandarin itu.

Saat tiba di puncak bukit Panjung, akan terlihat olehmu hamparan air laut biru itu, yang sangat luas seluas mata memandang, yang melengkung mengikuti lengkung bumi, yang sangat perkasa. Di bibir pantai, akan kamu lihat ombak menjilati pasir-pasir, ombak membentur karang-karang. Di situ akan kaurasakan hembus angin dan hangat sinar matahari. Di situ seakan kau lihat Sang Pencipta!

Tapi orang-orang ini sungguh mengganggu, para wisatawan yang kerjanya ambil foto dirinya sendiri untuk kemudian diunggah di internet. Para wisatawan ini seperti tak menganggap penting apapun kecuali dirinya ikut bagian di situ, kecuali namanya tercantum di situ. Mereka seakan tak mau fotonya menampilkan alam itu sendirian tanpa diri mereka. Ingin sekali kusetrum kepala mereka agar mata mereka benar-benar melihat alam indah menakjubkan itu, agar jiwa mereka benar-benar berwisata. Tapi ya sudahlah, mungkin begitu pengertian berwisata di kepala mereka.

Masih di bukit yang sama, kamu harus lihat ke arah timur. Matamu akan melihat sebuah pantai kecil berpasir, tak lebih dari tiga puluh meter panjangnya. Pantai itu terlihat sangat sepi, tak ada pengunjung sama sekali. Lalu….

Ya! Itu dia yang kami butuhkan. Agar berwisata ini bisa benar-benar, kami harus ke sana. Tapi bagaimana caranya?

Beruntung, sebuah jalan sebetulnya sudah disediakan untuk pengunjung. Tapi belum dibikin mudah untuk dilalui. Untuk mencapainya, kamu harus melalui jalan setapak di tebing yang curam. Tak ada pagar-pagar di sampingmu selain dinding tebing dan semak-semak, jadi saat melaluinya kamu harus berpegangan pada dinding tebing atau akar semak liar agar tak jatuh ke jurang. Dari atas jalan itu kamu akan melihat batu-batu cadas. Jangan coba-coba melanjutkan langkah kakimu sebelum kautemukan pegangan yang dirasa cukup kokoh menahan dirimu. Dengan medan sesulit itu, bisa dimaklumi kenapa tak satupun para wisatawan itu mengunjungi pantai yang satu itu. Tapi tidak bagi pengunjung seperti kami, asal pernah dilewati orang lain, pantai itu harus kami kunjungi sebab itulah tujuan wisata pantai sesungguhnya.

Kami mencapai pantai itu dengan perasaan seperti mendapat janji yang dilunasi atau doa yang dipenuhi. Menikmati pantai tanpa hiruk-pikuk akhirnya bisa dicapai. Sebuah pantai tanpa siapapun kecuali kami! Sebuah hidden paradise!

Kamu akan melihat batu-batu karang sebesar bis mini bertengger di dua ujung pantai. Kamu bisa menaikinya lalu melihat hamparan laut di depanmu sembari melindungi matamu dengan tangan kananmu dari terik matahari.

Kamu bisa pungut sejenis rumput laut di bawah karang, lalu kamu makan seperti mengunyah makaroni. Rasanya seperti jamur tiram, sebab air laut sudah mengasininya secara alami.

Kamu juga bisa bermain dengan kelomang yang kecil-kecil. Sebetulnya mereka tidak suka diganggu, tapi kalau cuma diajak bermain-main, mereka adalah teman yang menyenangkan.

Di tempat itu terdapat banyak sekali batu bulat-pipih, kecil mapun besar. Batu-batu itu bisa kamu lempar dengan kekuatan penuh ke laut agar berseluncur di permukaan. Bisa juga kamu susun vertikal, dengan keseimbangan sempurna, macam di dalam ajaran Zen itu.

Hal menyenangkan apapun bisa kamu lakukan di sini, tanpa diganggu siapapun!

Kalau kamu sudah capai ngapa-ngapain, kamu bisa duduk berteduh di balik karang besar. Sambil menikmati panorama alam, kamu akan mendengar suara debur ombak yang bergelora dan desir angin yang syahdu.

Senja menjelang. Lalu akan kamu lihat matahari tenggelam dengan wajah merona. Sinarnya terpantul di permukaan laut, membuat mata kami tak bergerak ke arah lain.

Apa nama pantai itu? Entahlah. Kami tak begitu peduli, sebab keindahan selalu anonim.[]

 

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top