Saturday, June 1, 2013

Kamboja

8:30 AM

Oleh: Halimah Garnasih

Dulu saya larut di dalamnya. Yah, saya terhanyut dalam arus imajinya. Saya hilang, menguap, terbuai tiap energi kata-katanya.”

Semuanya memperhatikan tiap kata yang keluar dari mulutnya. Seorang mahasiswa berambut gimbal yang duduk di pojok kelas memperhatikan andeng-andeng besar yang menghiasi hidung sebelah kirinya.

“Sampai suatu malam, saya temukan selembar novel yang tengah saya baca basah, tertetesi air mata. Aduhai, saya menangis. Batin saya terseret kisah perempuan tanpa lelaki di novel  ini.” Laki-laki yang membelakangi white board dan menghadap pada kami semua--yang duduk di kursi-- menyisipi mata kuliah kali  ini dengan kisah pribadinya.

Tapi semuanya seolah tersihir. Seluruh yang ada di kelas ini berhasil disapu oleh cerita laki-laki berbaju batik itu. Sosok dosen yang disegani di fakultas ini. Selain itu, dia memang cerdas, salah-satu dosen yang merupakan sisa-sisa sosok idealis. Aku pun mengaguminya.

Bookmarker itu mendarat di atas meja dosen, terlepas dari tangannya. “Tapi, setelah belajar ilmu adabi, saya sadar semuanya itu hanya fiksi. Dan semenjak itu, saya takkan pernah terhanyut oleh nuansa-nuansa batin yang dibuat-buat oleh pengarangnya.” Lalu  duduk dan memandang kami semua. “Itu artinya, air mataku pun tak pernah lagi berhasil membasahi lembaran-lembaran imaji itu.”

Aku terperanjat! Tak kusangka sosok di depan sana memiliki pemikiran seperti itu.
Dengan ekor mataku, kulirik Grobog, teman laki-lakiku yang duduk di kursi belakang samping kiriku. Tampak ia mengusap-ngusap dagunya dan membalas lirikanku. Dari pandangannya, sepertinya dia paham apa yang sedang aku pikirkan.

Kelas bubar. Sedang Kamboja di taman fakultas, berguguran. Seekor semut merambat pada kelopak salah-satu kamboja putih

“Bodoh!”

Gayatri berkomentar. Sehelai daun kamboja terbang, berpindah tempat akibat angin yang timbul dari gebrakan tangan Gayatri di atas bangku.

“Sungguh, dunia sastra akan musnah jika memelihara dosen seperti dia!”

Aku, Grobog, dan Tuwil, juga Maria memperhatikannya. Kami berlima adalah gerombolan mahasiswa yang suka nongkrong di bangku bundar di bawah pohon kamboja ini. Sengaja kami pilih karena nuansanya yang dalam, indah, mempesona, anggun, sekaligus magis. Namun, banyak teman-teman yang menyebut kami geng Kunthi. Mungkin, karena bagi mereka pohon kamboja adalah pohon dan bunga milik kunthil anak dan kawan-kawannya. Kami tak peduli dengan sebutan itu. Bahkan, Tuwil, teman lelaki berambut panjang yang sangat cinta dengan puisi-puisi Chairil Anwar ini sangat senang. Karena, menurutnya, sebutan itu membuat geng kami tenar di kampus. Lebih-lebih di ruang dengar komunitas-komunitas sastra.

“Kenapa kau berpikir seperti itu, Ga?”

Aku, Grobog, dan Tuwil langsung melirik ke arah Maria. Gayatri yang tomboy menatap Maria. Maria memakai baju putih dan sepan krem. Kalungnya melingkar di lehernya yang putih indah. Bandol salibnya berkerlap-kerlip ditingkahi cahaya matahari.

“Lalu, bagaimana yang kau pikirkan, Maria?”

Maria, dengan gayanya yang lembut dan tampak berwawasan menjawab, “Itu wajar. Pak Fasad seorang akademisi, kritikus sastra, bukan sastrawan.” penjelasannya santai tanpa memandang Gayatri karena kedua mata beningnya terpusat pada pusaran kedalaman bunga Kamboja yang mahkotanya satu demi satu dipetikinya hingga mahkota-mahkota  putih itu jatuh terburai di meja bundar.

“Itu wajar,” sekali lagi kalimat itu keluar dari mulutnya yang mungil merah jambon.

Aku membuka lagi satu lembar bukuku di atas meja. Novel Nawal El-Sa’dawi. Kubaca lagi kalimat demi kalimat meski telinga dan otakku berpusat pada obrolan Gayatri dan Maria.

“Tapi aku cenderung sepakat dengan Gayatri,” Tuwil yang dari tadi sedang menorehkan sajak-sajaknya seperti biasa, tiba-tiba merayapkan suara.

Maria dan Gayatri menoleh, aku mengangkat wajah dari buku, sedang Grobog, dengan santai masih mengusap-usap dagunya yang sebernaya tak ditumbuhi jenggot.

“Membaca novel tidak semestinya apatis,”  Tuwil melanjutkan. ”Bayangkan jika kita membaca novel dengan menutup hati, apa gunanya membaca novel. Membaca karya sastra, apa pun itu, musti membuka hati selebar-lebarnya. Adagium Pak Fasad tadi, adalah adagium orang-orang yang menutup hati.”

Gayatri mengangguk-ngangguk, senang, merasa dibela. Maria diam saja mendengarkan. Grobog masih santai mengusap-ngusap dagunya seperti tak acuh. Tapi kami tahu, dia sedang menikmati musik alami. Katanya suatu kali, alam ini dipenuhi musik. Angin mengirimkan musik, tanah, air, pasir, semuanya. Pernah juga, kami disuruhnya menahan nafas agar mendengar suara indah dari daun Kamboja yang gugur dari tangkainya. “Dengarlah, saat daun ini pelan jatuh ke tanah, ia sedang menggesek alam,” katanya suatu senja.

Kami manggut-manggut.

“Indah bukan?”

Kami manggut-manggut

“Berarti kalian juga bisa mendengarnya?” Katanya girang sampai berjingkat dari bangku.

Kami pun serentak menggeleng. Sontak tubuhnya lesu, kembali duduk di bangku, di samping daun yang layu.

Bunga kamboja yang putih jatuh melayang-layang tepat di depan wajah Tuwil. Ia memungutnya. Menyelipkan di telinga kirinya sebelum melanjutkan pendapatnya.

“Saat pintu hati dibuka lebar-lebar, dan semua jiwa karya sastra itu telah masuk dalam hatinya, mengetuk jiwanya, masuk ke batinnya, dan menembus sukmanya, maka setelah itu, proses kritik sastra bisa dijalankan."

Aku terpesona pada kalimat dan cara bicaranya. Antara bicara dan berpuisi, sudah sulit dibedakan. Bicaranya adalah berpuisi, dan puisinya berbicara. Tak mati.

Maria menyelipkan lagi rambutnya yang keluar dari jepitan telinganya dan mulai melepas apa yang ada dalam pikirannya. ”Seorang kritikus tidak akan lagi  objektif jika dirinya saja terburai dan terpesona karena pada saat itu dia tidak sedang menjadi dirinya sendiri. Dia telah terhanyut, berarti dia telah menjadi orang lain. Dan orang lain itu adalah tokoh dalam karya itu. Berarti, pada saat itu, dia sedang dalam keadaan fiktif! Dia tidak mengenal dirinya sendiri dengan seutuhnya maka pada saat itu juga bisa jadi dia sedang tidak menjadi seorang akademis, seorang kritikus!”

Gayatri bengong, aku melongo, dan Tuwil, sepertinya terbangun dari dunia musik alamnya, dia pun menoleh. Bergabung kembali pada dunia kami.

Keadaan pun kaku. Senyap sebentar. Tak ada satu pun kata yang terlontar dari mulut siapa-siapa. Aku pun bingung. Yang jelas, aku merasa tidak sepenuhnya setuju dengan argumen Maria tapi aku tidak tahu apa alasannya. Aku tidak tahu, haruskah membuka pintu hati lebar-lebar, menutupnya rapat-rapat atau setengah membuka dan setengah menutup?

Bunga kamboja jatuh di tengah-tengah kami. Lalu, musik alam pun bermain. Tiba-tiba kami semua mendengar. Suaranya memenuhi telinga kami sampai mmenyusup-nyusup dalam  jiwa  dan mata  kami semua tiba-tiba buta. Gelap.

Tiba-tiba saja dalam gelap itu mucul sosok lelaki berambut panjang dengan kamboja di telinga kiri menari-nari. Terus menari-nari seiring tabuhan gendang dalam kegelapan.

Malang, 07 Februari 2013

Halimah Garnasih
 Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya 
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 
Bergiat di Rumah Kreatif  Matapena Yogyakarta 
dan  sanggar Salemba Yogyakarta

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top