Friday, March 15, 2013

Meja Rias

7:48 AM


Oleh: Halimah Garnasih*

Perempuan itu tak pernah berdialog dengan siapapun. Apalagi bersepakat dengan siapapun. Atau menyetujui apapun. Namun, dia tetap terlahir di dunia. Begitu saja, dia temukan dirinya sebagai seorang anak. Anak gadis.

Banyak hal-hal yang begitu saj terjadi di luar keinginan dirinya, itu yang ia pikirkan saat duduk di kelas empat SD. Sambil maenyangga pipi kanan dengan telapak tangan kanannya yang kecil, ia, diam-diam menggugat. Entah pada siapa. Ia pun tak benar-benar tahu.

Matanya yang bundar memayar bunga mawar putih di depan kelas. Namun, sebenarnya, ia pun tak melihat putihnya kelopak mawar yang menyangga sisa-sisa embun tadi pagi.

Kenapa aku di sini? Hatinya gelisah. Pikirnya menggulung-gulung. Bercengkrama sendiri. Lalu, apa sebenarnya semua ini? Ia memandang langit, menatap tanah, menghirup udara dalam-dalam, dan merasakan angin yang melewati belakang telinganya.

Belum juga ia menemukan jawaban kegelisahannya itu, tas punggungnya jatuh dari pangkuannya. Ia terkejut. Sesuatu dalam dirinya kembali menggugat melihat tas punggungnya yang sebenarnya tidak layak pakai. Tas punggung yang selalu membuatnya tersisih dari teman-temannya. Yang selalu menjadi olok-olokan di kelas. Banyak bagian-bagian telah dijahit dan ditembel dengan kain putih kusam. Sangat kontras dengan kain aslinya, biru cerah.

Lalu, siapa yang memilihkanku lahir dari rahim emak? Sesuatu bagian dalam dirinya kembali bertanya-tanya. Perempuan miskin, beranak banyak dengan suami yang hanya penjual cilok.

Perempuan itu bergeming. Menatap dirinya di depan cermin. Ia perhatikan saja pena yang berdiri tegak di antara jari jempol dan telunjuknya. Ia mulai ragu. Nafasnya berat. Ada sesuatu di dadanya yang terasa menonjok-nonjok ingin keluar. Namun tak bisa. Akhirnya, dua tetes air jatuh dari matanya.

Lalu, penanya kembali menyatu. Membuat anak gadis di depan kelas tadi tumbuh menjadi gadis perawan. Ia belumlah lupa kegelisahannya dulu atau mungkin yang berujung  pada gugatan-gugatannya. Entah pada siapa. Sekarang, ia semakin benci. Entah pula pada siapa.
Semua berjalan begitu saja. Ia habiskan masa perawannya tanpa warna. Hanya terkurung di dalam rumah, dengan sapu, lap mengepel, dan seember air kotor.

Saat ayam berkokok, ia teburu-buru ke dapur. Bergelut dengan panci-panci dan  tungku-tungku hitam. Memasak nasi, sayur, lengkap dengan ikannya. Itu pun kalau ada. Jika tidak, maka disiasatinya dengan menyiramkan air  lebih banyak pada beras di dalam panci. Maka, beras yang sedikit itu menggelembung-gelembung menjadi tajin dan cukup untuk memberi makan kedelapan adiknya.

Saat matahari mengintip para perawan mandi, ia berlari dari dapur karena teriakan-teriakan adiknya. Dengan sarung dan kaos panjang yang sudah disentuh angus pada bagian sana-sini, ia habiskan harinya dengan mengurus kedelapan adiknya. Meski keletihan telah menggelayut pada jasmani, batin, dan pikirnya, rona perempuan perawan tetap membias segar dan cantik pada wajahnya. Bahkan lebih matang dari perawan-perawan sebayanya. Hingga tak jarang jejaka-jejaka yang lewat di depan rumahnya merasa gemas.

Semua itu ia lakukan sambil membersihkan rumah, menanam cabai, dan sayur-sayuran di depan rumah.

Bila senja sudah menyapa, ia berlari lagi ke dapur. Menyeduh kopi untuk bapak dan emak yang sebentar lagi akan datang dari pasar. Semenjak ia lulus SD,  emak bekerja di luar bersama bapak. Mengumpulkan dan menjual-belikan barang-barang bekas.

Perempuan itu menatap lagi pada permukaan cermin. Mengusap bagian depan rambut shaggy-nya. Jemari panjangnya yang merah kutek meraih satu batang rokok lagi. Satu batang terakhir. Disulutnya. Lalu, bibirnya yang dilapisi lipstik merah hati dengan begitu saja menempel pada batang terakhir itu. Dihisapnya sambil mendongak menatap langit-langit kamar yang putih dan memejamkan mata sampai terasa asap yang penuh nikotin itu memenuhi paru-paru.

Dihembuskan asap itu ke luar sampai asapnya yang tipis menari-nari di antara meja riasnya. Ia tersenyum tipis saat gumpalan asap pertama yang keluar dari mulutnya menyembul pada cermin. Tapi sial! asap itu terburai sehingga ia temukan lagi wajahnya di sana. 

Di kedalaman cermin. Matanya melihat bibirnya yang merah. Matanya melihat hidungnya yang kecil bangir. Matanya melihat alisnya yang bagai sabit. Lalu, matanya melihat matanya. Matanya yang dalam bagai cermin. Hingga dia bisa melihat lagi gambar perempuan di sana.

Perempuan itu berjalan dengan menunduk. Di atas sandal jepitnya, kakinya yang tak terawat ikhlas saja dipakai berjalan meski lelah. Sangat lelah setelah seharian mengurusi delapan adiknya dan membersihkan rumah.

Seperti dulu saat akan pergi sekolah, malam ini ia lewati gang-gang kecil menuju rumah mak Salma. Bukan lagi tas buluk yang ada di punggungnya, melainkan sekarung botol air mineral kosong.

Sebenarnya bisa saja emak atau bapak besok pagi yang akan mengantarkan, tapi Kang Karno--supir mak Salma--bertandang ke rumahnya. Menyampaikan pesan kalau mak Salma meminta botol-botol mineral itu diantarkan sekarang juga. Malam ini juga. Karena bapak dan emak masih kelelahan, anak perempuannyalah yang disuruh. Anak perempuannya yang segar perawan. Anak perawannya yang juga sangat lelah.

Perempuan itu berbelok lagi ke gang kecil yang bau pesing dan gelap. Mukanya tetap menunduk menyangga berat. Bukan berat di punggungnya, tapi berat di dalam dirinya yang telah ia pikul semenjak kecil. Yaitu kegelisahan.

Sudah sekian lama kegelisahan itu mengendap di kepala dan hatinya sambil menjalani kepahitan hidup yang ia lalui dengan ikhlas.

Tapi, malam ini kegelisahan itu kembali menguap sampai ke dada dan terus ke kepala. Memenuhi otak sehingga sempat membuatnya pusing sekejab dan ingin menangis. Beruntung, perempuan itu cepat mengingat Tuhannya.

Ia berjalan lagi. Kegelisahan itu membuntutinya. Kali ini lebih terasa berat dari kegelisahan di masa-masa kecilnya, “Siapa yang mengirim botol-botol ini ke punggungku?” Batinnya dirasuki kegelisahan.

“Siapa pula yang mengirim keringat dan keletihan kepada emak?”

“Kenapa aku musti mengenakan jilbab dan rok panjang? Bukankah rambutku yang panjang akan bahagia tergerai dan berteman dengan angin?”

Saat berbelok lagi dan menemukan jalan raya yang sepi, perempuan itu melihat dirinya melepas jilbab dengan kasar. Menggunting rok panjangnya sampai ke atas lutut. Dan membebaskan dirinya dari botol-botol mineral  dan sandal jepit bututnya.

Di tengah jalan raya yang sepi, ia bediri kaku. Jari telunjuknya menuding ke langit hitam yang dipenuhi bintang. Mereka yang berkerlap-kerlip mengirimkan nyanyian langit.

Jiwanya melayang. Bibirnya kembali ingat cara tersenyum sampai belahan di bibir bawahnya terlihat jelas. Senyum yang memesonakan sukma. Ada rasa bebas yang tiba-tiba menyelinap dan menindihi kegelisahan.

Tumitnya yang jenjang berbahagia. Rambutnya yang hitam, kedua tangannya yang panjang, dadanya, perutnya, dan seluruh kedalaman dirinya berbahagia. Ia menari-nari di tengah jalan raya yang sepi. Di bawah langit hitam bertabur bintang. Bersama melodi nyanyian langit. Bunga-bunga, dedaunan, dan ranting-ranting ikut menari. Dan angin, menghembuskan simfoni lembut.

Tapi ada kekuatan lain yang menginginkan hal itu tidak pernah terjadi. Sehingga perempuan itu masih berdiri di atas sandal jepitnya dengan sekarung botol air mineral di punggungnya. Perempuan itu sudah tak bisa melakukan apapun selain berjalan menunduk dengan menahan kegelisahan sampai rumah Mak Salma.

Puntung rokok itu terkulai di dalam asbak merah di atas meja rias. Perempuan itu menggigit bibir. Tiba-tiba ada perih di perutnya sampai ke bawah. Digigitnya bibirnya sendiri. Lagi-lagi cermin memandangnya hingga ia melihat dirinya sendiri.

Rumah Mak Salma telah gelap. Dan memang, Mak Salma sedang tidak menunggu siapapun, selain ranjang yang bisa menyapukan keletihannya. Seharian ini, Mak Salma merasa nyaman dan tak ada beban. Mak salma merasa bebas dan damai karena telah dua hari suaminya ke luar kota.

Mak salma juga tidak tahu kenapa ia lebih senang jika suaminya tidak di rumah. Entahlah, Mak Salma hanya ingin menikmati surga dua hari ini tanpa suami.

Yah, tak ada Mak Salma. Justru, sepasang matalah yang telah lama mengintainya. Membuntuti wadag yang jiwanya selalu diliputi kegelisahan.

Perempuan itu terseret ke salah satu gang sempit. Botol-botol air mineralnya berhamburan.

Lagi, ia harus atau begitu saja semestinya menerima keadaan saat Kang Karno berhasil menindihinya, menyumpal mulutnya dengan jilbabnya sendiri.

Lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa otot-ototnya tidak lebih kuat dari otot-otot Kang Karno, sampai ijtihadnya melindungi sesuatu titipan Tuhannya luruh. Kenapa Tuhan tidak menjaga miliknya?! Hatiny berteriak panjang memanggil Tuhan yang amat diagungkannya saat dirasakan sesuatu yang keras merusak ‘milik’  Tuhan.

Perempuan itu bergetar. Kakinya bergetar, bibirnya bergetar. Dan tangannya bergetar saat mengambil salah-satu wadah kaca krim kecantikannya di depan cermin.

Dipandanginya lembaran kertas terakhir tulisannya. Ditemukannya kata terakhir sebelum titik yang telah dia buat:”Tuhan”

Pandangannya beralih pada cermin yang semenjak tadi memandangnya. Mengejeknya. Seolah-olah cermin itu berkata bahwa dirinya tak ubahnya perempuan dalam kertas di depannya. “Permainan dan mainan”. Hahaha!

Cermin itu tertawa terbahak-bahak dan mengolok-ngolok. Perempuan berlipstik itu pusing. Ia menjerit pada cermin dan menyuruhnya diam. Tapi cermin itu tetap mengolok-ngolok dan semakin tertawa keras.

Perempuan itu marah. Tubuhnya semakin bergetar hebat. Dilemparkannya wadah kaca krimnya pada cermin dengan keras.  “Pyarr!” Retaklah kaca itu dan akhirnya jatuhlah pecahan-pecahannya di atas meja rias. Menimbuni lembaran-lembaran kertas dan sebatang pena yang masih tergeletak. Menimbun cerita-cerita perempuan.

Perempuan itu tergugu. Menangis di bawah kolong meja rias.

Kupandangi cermin di depanku. Di atas meja rias ini pula aku melukis kisah-kisah. Menghidupkan atau mematikan perempuan-perempuan. Melecehkan atau mengagungkan perempuan-perempuan.

Tiba-tiba kudengar suara perempuan memanggilku dengan lembut:”Perempuan”. Tapi, di kamar ini tak ada siapa-siapa selain aku, ranjang, lemari baju, dan meja rias lengkap dengan cerminnya.

Kuteruskan saja mengangkat pena. Tapi, sekali lagi aku mendengar suara perempuan memanggilku. Tiba-tiba aku teringat cermin yang mengolok-ngolok dan menertawakan itu.

Tak kuteruskan bagian cerita ini. Biarlah sampai pada bagian tangis perempuan di kolong meja rias. Tanpa memandang cermin, hati-hati dan pelan-pelan sekali kutinggalkan kertas, pena, dan kegelisahanku di atas meja rias. Di depan cermin.[]

Malang, 10 Februari 2013

Halimah Garnasih 
adalah Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sedang bergiat di Rumah Kreatif  Matapena Yogyakarta &  sanggar Salemba Yogyakarta




Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top