Monday, February 11, 2013

Riwayat Vina

10:20 AM


Oleh: Imron Haqiqi*

Bagimana kabarmu, Vin? Aku rindu padamu. Melihatnya aku seperti melihatmu, Vin. Dia mempunyai sifat yang sama sepertimu. Sama-sama wanita yang sabar, periang, dan kuat. Tapi semoga kelak dia tidak mempunyai nasib sepertimu, Vin. Doakan dia semoga dia mempunyai nasib yang lebih baik darimu. Sekarang engkau seperti kembali di tengah-tengah kita. Terkadang aku merasa dia adalah cuplikanmu.

Vin, Tahukah kau, dulu aku salut padamu, bahkan aku sempat iri padamu ketika engkau mengatakan padaku tentang kehidupan. Hidup adalah sebuah perjuangan untuk mencapai suatu tujuan, dan dalam perjuangan harus mempunyai strategi, hingga menimbulkan suatu pilihan. Maka dalam hidup, kau harus memilih untuk mencapai sesuatu yang engkau tuju, katamu. Waktu itu aku terdiam, aku mati kutu ketika engkau berkata seperti itu, seperti kucing yang baru saja tersiram derasnya air hujan. Entah kenapa aku jadi mati kutu ketika kau menasihatiku. Padahal, seharusnya aku yang menasihatimu sebagai laki-laki yang lebih tua. Karena, menurut adat, seorang laki-laki katanya adalah panutan bagi seorang perempuan. Tapi kenapa kali ini justru sebaliknya? Engkau yang lebih banyak menasehatiku. Apakah karena kebodohanku? Ahh, Terserahlah, karena bagiku pribadi, antara laki-laki dan perempuan  sama, dalam ajaran maupun adat belum ada perempuan dilarang menasehati laki-laki. Bagiku jangan melihat siapa yang berkata, tapi apa yang dikatakan. dan sekarang aku sadar bahwa  kau memang benar. Beberapa waktu lalu aku merenunginya.

Waktu itu aku sempat heran padamu, Vin, ketika engkau suka nonton sepak bola di rumah Bu Parmi, tetangga kita, dan ketika engkau tak mau ketinggalan nonton layar tancap yang biasa digelar di balai desa, hingga pernah engkau menangis meraung-raung ketika ibu melarangmu melihat layar tancap karena engkau dianggap nakal. Ketika itu aku sepakat dengan ibu, karena memang wajarnya tak pantaslah seorang gadis sepertimu keluar malam-malam. Tapi, aku tertegun ketika engkau mengatakan bahwa engkau suka nonton sepak bola dan layar tancap untuk pencitraan hidupmu. Dan lagi-lagi aku mati kutu ketika engkau menyangkalku karena aku marah membela ibu. Dengan nonton sepakbola kita bisa belajar strategi kehidupan, dan engkau menjelaskan dengan detail bahwa bola ibarat sesuatu yang kita tuju dalam kehidupan. Seorang pemain bola harus mempunyai strategi bagaimana agar supaya bola sampai ke gawang, begitu pun dengan film layar tancap, lanjutmu. Hidup adalah sandiwara, Bang. Pun juga film. Setiap film mempunyai misi, dan setiap tokoh mempunyai strategi untuk sebuah misi tersebut, sama seperti hidup ini, Bang, katamu.

Aku masih menyimpan karya cerpenmu yang engkau tulis di waktu engkau duduk di kelas 2 SMA. Cerpenmu sangat indah, sangat menginspirasiku. Dan masih ingatkah engkau ketika engkau mengatakan bahwa engkau menulis cerpen adalah untuk menginspirasi pembaca cerpenmu—hasil pencitraanmu dari nonton sepakbola dan layar tancap. Aku terhenyak waktu itu, Vin. Kaget sekaligus salut padamu. Sungguh engkau wanita yang hebat. Engkau memang wanita yang tak pantang mundur. Maafkan aku, karena aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu, ketika engkau mengatakan bahwa engkau ingin memperdalam kepenulisanmu sambil kuliah di jurusan Sosiologi. Engkau ingin menjadi penulis, dan pencitraannya akan kau gali dari hasil belajar sosiologi, katamu waktu itu. Masih ingatkah dirimu, Vin? Tapi sekali lagi ma’af. Aku tidak bisa mengabulkan semua keinginanmu itu. Malah dengan keterpaksaan engkau harus menjual tubuhmu, yang tidak pernah terbayang olehmu dan olehku. Oleh karena ibu kita yang jatuh sakit ketika engkau hendak berangkat kuliah setelah menerima surat kelulusanmu dari sekolah menengahmu. Dengan segala ketidakmampuan akhirnya engkau harus mengurungkan niatmu, karena engkau harus membantuku bekerja di kota untuk membayar hutang pembiayaan rumah sakit ibu, tapi justru pekerjaanku yang mengantarkan engkau masuk di dunia suram nan hitam, menjadi seorang perempuan malam, setelah dirasa pekerjaanku tidak akan mencukupi untuk membayar hutang-hutang itu.

Sebenarnya aku tidak menginginkan engkau masuk di dunia itu, Vin. Aku tidak ingin engkau menjadi perempuan malam. Engkau masih gadis, aku tidak mau engkau kehilangan kegadisanmu meskipun demi keluarga kita, karena kegadisan adalah suatu kehormatan yang tidak ternilai harganya bagi seorang wanita. Tapi engkau tetap bersikeras untuk tetap menjadi perempuan malam. ”Biarlah aku terjun ke dunia itu, Bang. Demi ibu kita. Mungkin dengan pekerjaan ini aku bisa menopang kehidupan kita, kehidupan abang, kehidupan ibu juga, kehidupan semua keluarga kita.” Katamu waktu itu. Aku terharu mendengar ucapanmu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padamu, tidak mempunyai alasan lagi untuk mencegahmu, hingga aku pun akhirnya harus merelakanmu masuk ke dunia pilihanmu itu, meskipun sebenarnya aku masih berat dan bimbang, Vin.
***
ketika desiran angin memecah kesunyian malam. Engkau selalu duduk manis di bawah pohon Tanjung yang tertanam di trotoar jalan. Dengan baju sekat dan memakai rok mini. Juga masih teringat olehku, ketika secercah cahaya lampu jalanan memantulkan lipstikmu yang menghiasi bibir manismu, hanya untuk menarik perhatian pria-pria yang kebetulan lewat, dan engkau akan mengulum senyum padanya untuk memancing nafsu berahinya. Ketika pria itu mulai tertarik pada senyummu, engkau akan menarik bajunya, dan menggodanya lebih jauh, tanpa peduli dia pacar siapa atau suami siapa. ketika pria itu hanyut oleh godaanmu, kalian akan bersenang-senang dengan perpaduan cinta dan nafsu. Aku tahu hatimu menangis setiap engkau melayani laki-laki yang menikmati tubuhmu, Vin. Meskipun engkau selalu menyembunyikannya dariku, apalagi ketika Jajang mengungkapkan cintanya padamu, tapi engkau menolaknya. Padahal sebenarnya engkau juga mencintainya. Dan engkau menangis di balik tumpukan kardus ketika Jajang pergi dengan rasa kecewa akibat tolakan cintamu. Aku tahu semua itu, Vin. Semua itu engkau lakukan hanya untuk beberapa lembar uang. Untuk ibu kita.

Kau adalah adikku satu-satunya, Vin. Sebenarnya aku ingin sekali mengabulkan keinginanmu untuk menjadi seorang penulis dan kuliah di jurusan Sosiologi. Sesuai dengan keinginanmu. Suatu saat, ketika hutang pembiayaan ibu kita telah lunas aku ingin engkau meninggalkan pekerjaanmu, dan aku ingin engkau kuliah, meskipun memang secara akal sehat pekerjaanku tidak akan mungkin mengatasi semua itu, tapi aku akan berusaha. Karena aku sudah tidak sanggup melihatmu, tidak sanggup melihat penderitaan jiwamu yang selalu kau tampar-tampar dengan nalurimu. Pernah satu kali aku menangis begitu memilukan, Vin, ketika aku di waktu dini hari hendak pulang habis mancari rongsokan di pinggiran kota, dan aku menemukan kau di dalam semak-semak lahan kosong sedang di bawah tindihan seorang lelaki tua renta, seorang om yang mungkin sebaya bapak kita. Aku sempat melihat senyummu yang engkau paksakan demi memuaskan orang tua renta itu. Meskipun aku tahu, nalurimu sangat bersedih dan menangis meraung-raung. Aku tahu itu. Mungkin jika bukan tangis hati, suara tangismu itu akan membangunkan dan akan membuat ramai anjing-anjing peliharaan orang-orang kaya kota.

Waktu terus berlalu. Engkau menghabiskan hari-harimu dengan profesi kotor tapi suci itu, dan setelah sekian lama akhirnya engkau berhasil juga. Engkau dapat melunasi hutang-hutang ibu kita dengan hasil jerih payahmu, hasil tetesan peluh manismu. Ketika itu engkau memutuskan untuk mengakhiri profesimu itu, aku sangat senang sekali mendengarnya, dan aku bertambah senang ketika engkau mengatakan engkau ingin mempunyai seorang buah hati supaya ada seseorang yang bisa menjadi pelampiasan cintamu. Tapi, setelah itu aku kaget dan kecewa ketika engkau meneruskan perkataanmu yang ternyata engkau ingin mempunyai anak dari salah satu pria yang menyetubuhimu, bukan dari calon suamimu. Aku tidak habis pikir dengan keputusanmu itu, Vin. “Kenapa tidak engkau mencari laki-laki yang benar-benar mencintaimu, Vin, dan menikahlah dengannya.” Nasehatku waktu itu. Tapi kau tidak menggubris nasehatku itu, Vin. “Aku tidak mau laki-laki mencintai seorang perempuan yang kotor ini, Bang.” Jawabmu waktu itu. “Setiap manusia sudah di tentukan jodohnya oleh Tuhan, Vin, dan aku yakin Tuhan sudah menyediakan seorang pria untuk pendamping hidupmu, dan itu adalah jodohmu.” Kataku menegaskan. Tapi lagi-lagi engkau tetap bersikeras dengan keputusanmu, Vin. Keputusanmu selalu membuat aku pusing. Tapi, kepusinganku itu sia-sia. Engkau tetap tak berubah pikiran, hingga di suatu malam engkau berpamitan untuk pergi mangkal yang terakhir kalinya, dan akhirnya selang beberapa waktu engkau membuktikan perkataanmu. Ternyata engkau benar-benar tidak main-main dengan keputusanmu. Engkau benar-benar hamil. Tanpa tahu siapa ayah dari anak yang engkau kandung, Vin.

Hari-hari terus berselang. Semakin hari kehamilanmu semakin dewasa. Perutmu semakin membesar. Hingga tiba waktunya bayi dalam perutmu lahir. Masih ingatkah kau saat engkau melahirkan di atas tumpukan kardus yang hendak di setor ke juragan pemulung. Engkau melahirkan di bantu oleh Mak Marni, seorang janda separuh baya yang setiap harinya bekerja sebagai pengemis di jalan kota. Anakmu berhasil engkau lahirkan. Tapi engkau mengakhiri hidupmu saat itu juga. Vin, bukankah engkau menginginkan anak itu? Tapi kenapa engkau meninggalkan anakmu, seorang bayi perempuan yang katanya akan kau buat lampiasan rasa cintamu? Tapi ternyata engkau malah meninggalkannya sendirian, Vin. Pun dia tanpa seorang bapak.

Vin, tahukah engkau. Sekarang Putrimu sudah besar. Dia sekarang telah duduk kelas 4 SD. Dia selalu mengantongi juara kelas, Vin. Dia sama sepertimu dalam segala hal, suka nonton sepakbola dan nonton film, sama sepertimu. Dia wanita yang sabar, periang, dan kuat.[]

Yogyakarta, 28-01-2013

Imron Haqiqi adalah mahasiswa Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

2 komentar:

  1. apakah tepat penyebutan anak perempuan kelas 4 SD dengan istilah wanita? [pada kalimat dan paragraf terakhir]

    ReplyDelete
  2. saya ingin mengatakan kesamaan antara si putri dengan si ibu dari sisi sifatnya, terlepas dari pandangan usia. maka perkiraan saya, kata "Wanita"-lah yang cukup tepat......

    ReplyDelete

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top