Tuesday, February 26, 2013

Garnasih

10:49 AM

Oleh: Halimah Sa'diyah*


Garnasih terperangah menemukan dirinya muncul dari balik gedung tertinggi di negeri ini. Wajahnya pucat karena bingung. Dia pun bingung kenapa dirinya terengah-engah dan merasa capek sekali. Kakinya teramat lemas. Dengan keras dia mengingat-ngingat, apa hal terakhir yang yang dilakukannya. Namun sial! Dia tak ingat. Sama sekali tak ingat!

Dari belakang, ruang dengarnya menangkap suara orang-orang berteriak-teriak. Saat dirinya ingin menolehkan kepalanya sendiri ke arah teriakan, tiba-tiba saja kakinya bergerak. Seakan-akan mengajaknya untuk berlari. Berlari ke arah kaki menyeretnya. Garnasih tak bisa mengendalikan kakinya sendiri. Tentu saja Garnasih bingung. Menambah kebingungan keberadaan di sini yang begitu tiba-tiba. Bingung sekali.

Semakin keras dan dekat teriakan-teriakan di belakangnya, semakin gesit pula kaki-kakinya berlari melompat-lompat di atas mobil–mobil di tengah jalan raya. Saking cepatnya kedua kakinya berlari, sesekali tubuhnya melayang-layang terbang melintasi satu pohon ke pohon lainnya. Garnasih semakin bingung sekaligus takjub. Oh, apakah ini mimpi? Garnasih mulai tertantang. Sedikit demi sedikit, kebingungannya mengecil. Jiwa heroiknya timbul.

Garnasih menoleh ke belakang, dan dilihatnya sepasukan berseragam mengejarnya. Garnasih tak tahu mengapa. Tapi Garnasih sudah tak peduli. Sekarang, dia merasa tertantang, senang, dan merasa sedang bermain film Hollywood.

Mulai saat ini, dirinya telah bersatu dengan kekuatan-kekuatan—entah apa—yang membawanya berlari-lari  dahsyat. Ia langkahkan kakinya panjan-panjang melewati jalan raya, taman-taman kota, sungai-sungai, sawah-sawah, gedung-gedung tinggi, genting-genting rumah, hingga hutan-hutan. Dan di belakangnya, sepasukan berseragam itu tetap mengejarnya, tak kalah cepat.

Satu hari, Garnasih menikmati pengalaman dahsyat dan di luar nalarnya ini. Memasuki senja kedua, Garnasih sudah tak kuat, padahal, sepasukan berseragam itu masih saja mengejarnya dengan semangat pertama. Ketakutan menyeruak begitu saja pada dirinya. Kelelahan, mengingatkan kembali tentang keganjilan semua ini. Di dunia apakah sebenarnya sekarang dirinya berada? Siapa sepasukan berseragam itu? Kenapa mereka mengejarnya? Lalu, apa juga yang sedang terjadi padanya? Kekuatan super apakah ini?

Baju piamanya basah. Tubuhnya bermandikan keringat. Sambil terus berlari Garnasih mulai berfikir. Apakah ini hanya mimpi? Kalau iya, Garnasih ingin segera bangun.

Sambil berlari, dikerjap-kerjapkan matanya. Dihempas-hempaskan tubuhnya seperti biasa, kala ia sedang bermimpi. Dan dia akan menemukan dirinya sedang di atas ranjang bermandikan keringat atau sedang duduk menangis.

Aneh. Dia tetap berlari tanpa bisa disuruhnya berhenti. Alih-alih menemukan dirinya di atas ranjang, tubuhnya masih berlari-lari di awang-awang. Garnasih ingin menangis. Dia menjerit-jerit meminta pertolongan. Tapi hanya hembusan angin yang menjawabnya.

Kakinya semakin cepat berlari-lari. Dan kini menuju ke arah matahari. Garnasih tahu dirinya akan di bawa ke matahari. Garnasih menjerit-jerit sambil menjejak-jejakkan kakinya, agar berhenti. Tentu saja Garnasih tak mau terpanggang konyol di matahari. Tapi, semakin dijejakkan, kaki itu semakin kencang berlari seakan mengendarai angin beliung yang sedang murka.

Garnasih menoleh ke belakang sambil menangis, bagai Garnasih kecil yang sedang minta dibelikan balon. Sepasukan berseragam itu tanpa kasihan masih saja mengejarnya. Tanpa menghiraukan air mata yang basah di pipi Garnasih sampai menetes-netes ke lehernya.  Malah, sekarang mereka telah bersiap dengan pistol di tangan.

Garnasih telah benar-benar berada di puncak kelelahan. Bajunya semakin basah keringat. Rambutnya juga mulai tak karuan. Otot-ototnya terasa lemas namun tetap saja dipaksa berlari, entah oleh siapa.

Garnasih akhirnya sadar bahwa dirinya sudah tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Di ujung kepasrahannya, dia berdoa. Berdoa adalah jalan terakhir yang paling akhir yang masih bisa dan juga musti dia tempuh.

Dalam kepasrahan itulah, matanya terpejam. Dengan kekuatan dan kekhusyukan terakhir yang teramat dalam, dia berdoa. Lalu semuanya abu-abu. Berubah ungu. Berujung petang. Gelap.

Garnasih gelagapan. Dalam gelap tiba-tiba ada yang menarik tangannya. Tangan berotot dan hangat. Garnasih menaksir ini adalah tangan lelaki. Garnsih ingin sekali melihatnya. Melihat seseorang yang tidak ia kenal namun bisa sedikit meluruhkan gunung ketakutannya. Tapi bagaimana caranya? Melihat dirinya saja tidak. Semuanya gelap. semuanya petang.

“Tenanglah. Kau aman bersamaku”, suara lelaki itu berhembus di telinga Garnasih. Bibirnya menyentuh bibir telinga Garnasih. Hati Garnasih berdebar. Sungguh Garnasih ingin melihat rupa pemilik nafas hangat ini. Tapi apa yang bisa dilakukan Garnasih selain pasrah dalam kegelapan?

Tubuhnya masih di awang-awang. Itu yang masih dirasakan Garnasih. Juga rasa aman dan nyaman karena kehangatan dan kelembutan seseorang yang entah siapa. Garnasih memang tak perduli. Karena begini saja, dia sudah sangat merasa terbebas dari ketakutan, dari himpitan kekhawatiran. Garnasih tak ingin mengingat kesan panasnya matahari dan sepasukan berseragam itu.

Setelah merasa dibawa melesat-lesat dalam kegelapan, kini, setelah sekian lama, Garnasih merasa kakinya menjejak tanah kembali. Kakinya yang telanjang, merasakan butiran-butiran lembut tanah. Lalu, ia rasakan juga pegangan tangan lelaki itu akan lepas. Garnasih tak tahu siapa lelaki itu. Namun, ia tidak mau dilepas. Garnasih takut dilepas.

Seberapa besar apa pun rasa takut yang tiba-tiba menyeruak kembali pada dirinya, lelaki penolong itu lepas. Dan Garnasih mulai sadar. Garnasih paham. Garnasih juga menginsyafi  rasa ketergantungannya itu.

Di atas kedua kakinya yang sudah kembali menjejak tanah lagi, Garnasih tegar berdiri sendiri. Kegelapan yang semenjak tadi menyelimutinya mulai menghadirkan pendar-pendar cahaya. Garnasih melihat cahaya berpendar-pendar mengelilingi tubuhnya. Tubuh Garnasih terasa ringan. Segala kebingungan yang mengendap di batok kepalanya seakan sirna. Menyusut karena cahaya. Lalu menguap dan hilang. Tak ada lagi keresahan yang memburu Garnasih. Garnasih seolah baru bangun dari tidur panjang dengan mimpi yang indah-indah. Hatinya telah ringan.

“Hahahaha!” Garnasih terperanjat mendengar lengkingan suara nenek-nenek. Garnasih terkesiap. Tampak di sekelilingnya batu-batu tinggi yang ditumbuhi bunga-bunga liar. Dan tepat di hadapannya di sana, seorang nenek-nenek berambut putih panjang dengan tongkat panjang di tangannya. Garnasih bergidik. Rasa cemas dan takut kembali hadir. Garnasih merasa dirinya sedang berada di zaman dahulu.

“Hahahaha!” Nenek-nenek itu tertawa. Garnasih kembali terkejut dalam diamnya.

“Kenapa kau berlari-lari dari dunia! Hahaha!” Suara tua nenek itu menancap tepat di hati Garnasih yang diliputi ketakutan.

Dengan terbata-bata dan ragu-ragu, Garnasih mengeluarkan suara yang tercekat di tenggorokannya, “Be … ber … lari dari du … nia? A ... pa maksud Anda?”

“Hihihihi.” Nenek itu kembali tertawa melengking. Angin mengirimkan lengkingannya sampai ke liang telinga Garnasih. Garnasih gemetar.

“Sudah dua tahun kau berlari-lari, Perempuan!” Suara nenek itu menyentak. Saking kagetnya, Garnasih sedikit terlonjak ke belakang. Baju piamanya sudah tidak basah keringat.

“Du … dua tahun saya berlari?” Garnasih tak percaya.

Tawa nenek misterius itu kembali membahana. Lalu memantul-mantul pada kening batu-batu hitam.

“Sa … saya dikejar. Ja … ja ... di saya berlari. Tolong saya.”

Garnasih kaget dengan perkataannya sendiri. Kenapa dirinya meminta tolong pada nenek kotor, aneh, dan asing itu?

Nenek itu tertawa lagi. “Aku tahu, kau ingin bersembunyi. Bersembunyi dari dunia dan seisinya yang mengejar-ngejarmu!”

Garnasih tak sepenuhnya mengerti. Tapi dengan tanpa disadarinya, kepalanya mengangguk.

Nenek itu berjalan membelakanginya. Di depan nenek itu, Garnasih melihat kain merah di antara batu-batu. Nenek itu mengangguk ke arah Garnasih. Garnasih mendekat. Langkahnya pelan-pelan. Garnasih nampak ragu.

“Masuklah!” Suara nenek itu berat

“Tapi apa itu?” Kening Garnasih mengkerut

“Pintu reinkarnasi!” Mulut nenek itu bergerak-gerak jelas di mata Garnasih. Garnasih terperangah. Garnasih terkejut. Dia mundur beberapa langkah.

“Tidak! Aku tidak mau reinkarnasi!” Garnasih menjerit.

Nenek itu tertawa semakin melengking. Garnasih menutup telinga dengan kedua tangannya. Lalu senyap.

“Kenapa? Kau takut menjadi orang lain?! Kau takut tak beruntung, Perempuan?! Tak ada jalan lagi bagimu selain pintu ini, sebab, di luar batu-batu tinggi ini, semuanya telah mengepungmu! Siap membunuhmu!” Nenek itu tertawa lagi

Garnasih semakin dijejali keterkejutan. Dengan ragu, ia katakan apa yang dirasakannya, “A … a … ku takut menjadi hewan.” Kali ini, Garnasih tak berani menatap mata marah nenek bermuka keriput itu. Kepalanya menekur ke bumi.

Pelan-pelan, dengan tongkat di tangan kanannya, nenek itu mendekati Garnasih. Dan tepat di bawah muka Garnasih, nenek itu berkata pelan bagai orang berbisik, “Lebih mulia menjadi hewan, daripada menjadi manusia hewan!”

Suara nenek itu menyusupi telinga Garnasih. Bermacam bunyi lalu berdenting-denting di telinga Garnasih. Memantul-mantul di kepalanya. Kepala Garnasih pening. Seluruh tubuh Garnasih terguncang. Dilihatnya bayangan ungu berputar-putar di matanya. Garnasih pusing. Kepalanya berat. Lalu, tubuhnya ambruk.

Garnasih terbangun, ditemukan dirinya masih dikelilingi batu-batu tinggi. Matanya mencari-cari nenek gila dan pintu berkain merah. Tapi tak ada. Tempat itu senyap. Padahal Garnasih ingin segera berlari kencang ke arah pintu reinkarnasi. Garnasih ingin menjadi hewan saja! Ia ingin mejadi keledai, atau kambing, atau cacing, atau kutu sekalian!
Tiba-tiba terdengar suara merdu memenuhi tempat itu. Angin membawa alunan yang memesonakan itu ke telinga Garnasih. Masuk, dan menyatukannya dengan aliran darah. Menyusup ke pintu nurani. Garnasih terpekur. Ia mulai ingat nyanyian langit itu adalah simfoni yang memenuhi langit saat senja merona, memega merah.

Saat ia memapah dirinya untuk bangkit, matanya menemukan tulisan terangkai pada batu-batu tinggi yang melingkari tempat ini. Dengan terbata-bata dan tanpa bersuara, nuraninya membaca tiap garis huruf indah itu. Garnasih terperangkap pada garis-garisnya saja. Garnasih tak tahu ruh apa yang berada di balik garis-garis yang memesonakan itu:

وإن تطع أكثرَ من فى الأرض يضلوك في سبيل الله


Malang-Jogja, pada Februari.

Halimah Sa'diyah 
adalah Mahasiswi Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 
Penulis novel Akasia Berdarah.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top