Friday, February 22, 2013

Fikih dan Tasawuf: Dua Sisi Mata Uang

9:45 AM


Oleh: Muhammad Madarik*

Judul di atas merupakan kata yang simpel, padat serta lugas. Suatu kata yang awalnya agak aneh kedengarannya, tetapi setelah diresapi dan direnungkan secara mendalam akan terlihat pengertian yang sangat membentang begitu luas dari kedalaman makna di balik simbol-simbol kalimatnya. Di dalam tema itu tersimpul kerangka sistem pendidikan sekaligus tatanan berpikir, berwawasan, bahkan tata cara berkehidupan sosial yang komprehensif dari aturan-aturan dogmatis (baca: syariat) Islam.

Hal pertama yang terlintas dalam pikiran setiap manusia adalah sesuatu yang menakjubkan dari ajaran dan keberagamaan dalam Islam tentang upaya menggapai kebahagiaan hakiki sesuai alur yang ditawarkan Islam, yaitu fikih dan tasawuf. Sebagai prosedur standar beragama dengan muatan tata aturan beribadah, fikih diciptakan agar sosok muslim dapat dihantar kepada pola beribadah yang sahih dan absah. Sementara tasawuf terlahir dalam bentuk seperangkat rumusan-rumusan keberagamaan dari dimensi ruhani yang harus dipedomani oleh setiap individu yang mengimpikan menemukan makna hakiki dari setumpuk aturan fikih yang dilaksanakan. Tetapi kondisi ideal semacam ini di sebagian lingkungan, termasuk di dalam lembaga pendidikan Islam, belum tampak menjadi kurikulum yang sistematis, sehingga pada gilirannya fikih dan tasawuf dalam praktik keberagamaan menjelma menjadi rambu dipersimpangan yang menunjukkan dua arah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kajian mendalam tentang fenomena tersebut tentu masih memerlukan lembaran panjang dan sekelompok pemikir muslim handal, sekelumit tulisan ini diharapkan mampu dijadikan setetes tawaran awal dari selaksa ide di belakangnya.

Aspek Berbeda Dari Persepsi Berbeda
Sementara ini pemahaman sebagian orang terhadap kenyataan munculnya fikih dan tasawuf, utamanya dalam ranah pendidikan, membelah secara dikotomis antara fikih yang dianggap berada di pojok pelaksanaan peribadatan harian pada satu sisi, sementara tasawuf dinilai sebagai bagian dari sistem penataan psikologis seseorang pada sisi yang lain. Oleh karena itu, persepsi demikian ini merupakan faktor yang sesungguhnya membuat jurang pemisah antara fikih dan tasawuf kian menganga semakin lebar, sehingga posisi keduanya terutama di dalam ruang pendidikan bagai dua musuh yang sulit diislahkan.

Fenomena yang tidak bisa dipungkiri, selama ini fikih diasumsikan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk-bentuk teknis penyelenggaraan agama (syarî‘ah al-islâm). Asumsi semacam ini pada dasarnya bukan hal yang salah, sebab fikih merupakan kajian yang membahas ajaran Islam dalam aspek hukum atau syariat. Dalam pengertian ini, jelas bahwa fikih berbeda dengan Ilmu Tauhid yang membahas ajaran Islam dalam aspek keimanan (‘aqîdah al-islâm) dan berbeda pula dengan Ilmu Tasawuf yang membahas ajaran Islam dalam aspek moral atau etika. Makanya penyatuan fikih dan tasawuf dalam ranah pendidikan dan aplikasi keseharian hanya menjadi mimpi belaka.
Fenomena lain yang juga tidak dapat diingkari bahwa selama ini tasawuf dinobatkan sebagai ilmu hakikat, pengetahuan batin atau hal yang terkait dengan ruhani. Tegasnya, Ilmu  Tasawuf merupakan pengetahuan yang menginformasikan bagaimana seseorang hendak membersihkan dan memurnikan ruh (hati) dari geliat nafsu, sehingga dorongan aspek batin yang bersih itu dapat menyucikan dimensi lahir manusia untuk tidak melakukan kemungkaran dan kesalahan.

Dalam konteks teoritis, tentu saja persepsi tersebut tidak menyalahi fakta ilmiah bahwa dari sisi terminologis fikih dan tasawuf memang seperti yang terungkap di atas. Oleh karena itu, menyalahkan apa yang diuraikan merupakan sikap kekanak-kanakan. Tetapi fakta kekinian menunjukkan bahwa selama ini sebagian kalangan muslim masih cenderung mengasumsikan bahwa antara fikih dengan tasawuf merupakan dua ilmu yang senantiasa berhadap-hadapan (atau bahkan juga sengaja dipertentangkan) secara vis-a-vis. Para penganut fikih yang fanatik terhadap perilaku memegang legalitas formal (baca: fikih-sentris) memandang “haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasinya, baik secara naqlî maupun ‘aqlî. Sementara itu, para penggiat tasawuf pun tidak ketinggalan dalam mengkritik para pelaku yang hanya melihat hitam di atas putih (formalisme keberagamaan), tanpa menangkap esensi atau substansi Islam seperti diharapkan kaum sufi.

Dalam konteks demikian ini, pertengkaran dua kubu menjadi fakta yang fenomenal di dalam dunia pendidikan lebih-lebih di alam nyata. Dalam pola hidup semisal kelompok tarekat, istilah “tasawuf” bagi mereka sangat ditakdiskan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Sejak dini para peserta pemula tarekat sudah dikenalkan anggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir mereka yang selalu disimbolkan dengan pakaian lusuh, tasbih di tangan dan bibir yang selalu melafazkan zikir. Sedangkan pelaku fikih seperti sebagian orang-orang pesantren, mulai awal di masa-masa pendidikannya sudah ditanamkan sekaligus dibentuk cara berfikir, bersikap dan perilaku serba fikih. Seakan seluruh warna kehidupan dalam semua dimensi menggunakan ukuran fikih sebagai standarnya, sehingga ruang hidup orang bergaya fikih-sentris hanya berujung  pada pilihan hitam-putih, haram-halal dan absah atau tidak absah.

Meniscayakan Perkawinan Fikih Dan Tasawuf
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada satu sisi fikih berada pada wilayah aturan ketat, sedangkan pada sisi yang lain tasawuf berposisi di ruang tata cara yang longgar. Tetapi kenyataan ini bukan berarti keduanya tidak harus bercerai lalu kemudian berjauhan. Sebab, sesungguhnya fikih dan tasawuf merupakan dua wujud yang hakikatnya satu di mana keduanya saling melengkapi.

Sebagaimana diketahui fikih berada di tataran teori dan praktik peribadatan belaka, misalnya soal tata cara bersuci (thahârah), sembahyang kepada Tuhan (ash-shalawât al-khams) dan peribadatan lainnya. Dalam konteks ini, fikih merupakan pilar hukum Islam dari sisi legalitas formal. Sementara eksistensi tasawuf di tengah-tengah dinamika kehidupan berperan sebagai tonggak hukum Islam dari dimensi esensi substansial. Oleh karena itu, sebetulnya posisi fikih di atas altar kehidupan personal dan sosial berbanding lurus dengan kedudukan fikih di dalam menata arah hidup pribadi maupun bermasyarakat.

Dari sini dapat dipahami bahwa fikih akan terkesan kaku dan kering makna bagi penghayatan penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran kalbu yang dipancarkan tasawuf. Sebaliknya, tasawuf dengan serta merta dapat menghantarkan seorang hamba pada proses pengabdian tanpa prosedur syariat yang diberlakukan—kendatipun pada level dan sosok tertentu dibenarkan dalam dunia tasawuf—tatkala fikih dikelupas dari tasawuf.

Salah satu tokoh yang berandil besar dalam menyatukan fikih dan tasawuf adalah Al-Ghazali. Dengan Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn-nya ia menyuarakan persandingan fikih dan tasawuf, sebagaimana ia berkoar lantang tentang penyatuan ilmu kalam dengan filsafat. Dari sini, khazanah ilmu pengetahuan Islam kian diperkaya dengan ide cemerlang Al-Ghazali yang melahirkan konsep rahasia-rahasia ibadah (baca: asrâr ath-thahârah, asrâr ash-shalâh, dan seterusnya). Kegersangan hidup yang melanda masyarakat muslim sekarang ini dengan perilaku fikih tanpa pemaknaan mendalam dari tasawuf, atau keterperosokan gaya hidup sebagian manusia melalui tingkah berlagak “tasawuf” tanpa ukuran fikih yang standar dapat diobati dan dikurangi berkat kehadiran konsep ini. Inilah seharusnya yang perlu diperhatikan oleh kalangan pendidik lembaga Islam dan pegiat tarekat negeri ini, agar fikih dan tasawuf menjadi landasan dasar bagi setiap insan menapaki dinamika kehidupan individu dan sosial.

Ungkapan sebagian ahli fikih, “barang siapa mendalami fikih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa yang bertasawuf, tetapi belum mendalami fikih, berarti ia zindiq; dan barang siapa melakukan keduanya, berarti ia telah melaksanakan kebenaran (tahaqquq)” bukan saja jargon kosong belaka.[]

Muhammad Madarik 
adalah dosen STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang.

sumber gambar: pexels.com

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top