Thursday, February 28, 2013

“A COMMON WORD” (2007): Menuju Teologi Baru tentang Relasi antara Umat Islam dan Umat Kristen

8:25 AM


Oleh: Muhammad Adib*

Cerita bermula, ketika Paus Benediktus XVI pada tanggal 12 September 2006 menyampaikan “Orasi Agung” (Lecture of the Holy Father) bertajuk “Faith, Reason and the University: Memories and Reflections” di Aula Magna University of Regensburg Jerman.[1] Orasi tertulis tersebut ternyata menyulut kemarahan umat muslim di berbagai negara. Beragam pernyataan yang bernada keberatan dan protes bermunculan dari berbagai tokoh, komunitas, institusi dan negara. Di Jakarta, misalnya, sekitar 50 orang dari Forum Umat Islam (FUI) berunjuk rasa di Kedubes Vatikan, seraya menuntut Paus Benedictus XVI mengundurkan dari jabatan pemimpin umat Katolik sedunia.[2] Pemicunya adalah salah satu pernyataan dari orasi tersebut yang dinilai menghina Rasulullah saw. dan Islam, yaitu: 
Show me just what Muhammad brought that was new and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith he preached.[3]
Meskipun Paus Benediktus XVI telah menyampaikan permintaan maaf secara resmi seraya menjelaskan bahwa dia hanya mengutip pernyataan Kaisar Manuel II pada tahun 1391 sebagai gambaran historis tentang gereja dan agama, namun hal itu tidak menyurutkan gelombang protes dari dunia Islam yang tetap menganggap bahwa pernyataan tadi menggambarkan perspepsi Paus Benediktus XVI tentang Islam.[4] 

Salah satu reaksi yang nantinya berkembang menjadi wacana yang bersejarah adalah surat terbuka (open letter) tertanggal 13 Oktober 2006 dari 38 pemuka agama dan intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia[5] yang ditujukan kepada Paus Benediktus XVI. Surat tersebut pada intinya berisi dan bertujuan untuk mengklarifikasi sejumlah poin dari orasi Paus Benediktus XVI. Di antaranya adalah (1) prinsip dakwah dan jihad Islam, dan (2) konsep teologi Islam tentang Tuhan. Meski bersifat korektif, surat yang tidak diketahui penggagas dan proses penyusunannya ini menegaskan muatannya yang mengusung “semangat dialog intelektual terbuka dan kesepahaman timbal-balik” (the spirit of open intellectual exchange and mutual understanding) antara umat Islam dan Kristen.[6]

Setahun berikutnya, tepatnya tanggal 13 Oktober 2007, surat tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya surat terbuka (open letter) yang ditandatangani oleh 138 pemuka agama dan intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia[7] dan ditujukan kepada 28 pemuka agama Kristen di seluruh dunia, terutama di Vatikan. Surat yang konon dibidani oleh lembaga The Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought binaan penguasa tertinggi Yordania, yaitu Raja Abdullah II. Surat yang bertajuk “A Common Word Between Us and You”—meminjam sebuah frase dari al-Qur’an “kalimah sawā’ baynanā wa baynakum” (Q.S. Āl Imrān (3):64)—tersebut mendeklarasikan kesamaan prinsip ajaran (common ground) antara Islam dan Kristen, utamanya dalam  tema (1) kecintaan terhadap Tuhan (the love of God) dan (2) kecintaan terhadap tetangga (the love of the neighbour), dengan mengacu kepada teks kitab suci kedua agama, yakni al-Qur’an dan Bibel. Melalui deklarasi tersebut,[8] 138 orang pemuka agama dan intelektual Muslim di atas mengajak seluruh umat Kristiani untuk berpijak di atas kesamaan ajaran tadi dalam rangka membina dan mewujudkan perdamaian dunia secara bersama-sama, karena perdamaian dunia sangat bergantung kepada harmonitas hubungan antara umat Islam dan umat Kristen. Hal ini nampak dari pernyataan pembukanya, yaitu: 
Muslims and Christians together make up well over half of the world’s population. Without peace and justice between these two religious communities, there can be no meaningful peace in the world. The future of the world depends on peace between Muslims and Christians.[9]
dan pernyataan penutupnya, yaitu: 
So let our differences not cause hatred and strife between us. Let us vie with each other only in righteousness and good works. Let us respect each other, be fair, just and kind to one another and live in sincere peace, harmony and mutual goodwill.[10] 
Tak pelak lagi, dokumen tersebut mengundang berbagai respon, baik positif maupun negatif, dari berbagai kalangan di berbagai belahan dunia. Sepanjang tahun 2007-2010, tercatat tidak kurang dari 70 repon balik dari berbagai kalangan elit agama Kristen dan Yahudi yang masuk serta terakses dalam situs resmi acommonword.com.[11] Salah satu yang positif di antaranya disampaikan oleh David Ford dari The Cambridge University yang tegas menyatakan bahwa itu adalah “pernyataan bersejarah yang menjadi titik-balik kunci bagi perekatan hubungan antara umat Islam dan umat Kristen, terutama pascatragedi 11 September 2001”.[12]

Apresiasi lebih tegas juga dikemukakan oleh Nicholas Adams, ahli teologi dan etika Kristen di Edinburgh University. Menurutnya, dokumen “A Common Word” bisa bisa diumpamakan sebagai “alat pembangkit kekuatan elektromagnetik” (generator of electromagnetic force). Artinya, teks al-Qur’an dan Bibel, sebagai dua sumber kekuatan magnetik, didekatkan satu sama lain untuk menghasilkan energi yang mendorong dialog tulus antar umat beragama bisa berfungsi dengan baik. Tentu saja, dokumen tersebut tidak bekerja secara otomatis, melainkan bergantung kepada “niat baik” dan “komitmen” pembaca (reader) untuk menjalin interaksi yang tulus (deeper interaction) tadi. Dengan begitu, “kata akhir” (last word) dari dokumen “A Common Word” bukanlah “kesatuan” (unity) ataupun “persetujuan” (agreement), melainkan “damai dan harmonis dalam perbedaan” (peace and harmony in the face of differences). Artinya, ragam perbedaan yang ada tidak untuk diperingkat ataupun dikompetisikan, melainkan untuk dipahami secara simpatik antara satu dengan yang lain dalam semangat saling berlomba untuk berbuat kebaikan secara timbal-balik bagi sesama.[13]

Menurut Adams, “A Common Word” merangkum dua kecenderungan sekaligus. Pertama adalah “unity in diversity” yang tercermin dari redaksi tajuknya sendiri, yakni “A Common Word between Us and You”. Kata “common” atau “sawā’” dalam redaksi tersebut berkonotasi kuat bahwa semua hal bersifat setara, seimbang dan selevel. Sejumlah pernyataan dalam “A Common Word” secara eksplisit menegaskan hal itu. Namun, tentu tujuannya bukan untuk membentuk “agama baru”, “agama sinkretis” atau apapun istilahnya, melainkan untuk mengakui adanya perbedaan dan mencari titik temu. Kedua adalah partnership of differences yang tergambar dari penggunaan kitab suci kedua agama, yakni al-Qur’an dan Bibel, sebagai bahan acu. Dalam konteks ini, “A Common Word” menerapkan metode yang unik, di mana kedua kitab suci tidak diperbandingkan dalam posisi saling berhadapan (comparison), melainkan disandingkan secara sejajar dalam posisi menghadap ke arah yang sama (juxtaposition). Artinya, teks kedua kitab suci pada tema yang sama dibaca dan dipahami secara bersama-sama dari perspektif masing-masing, tanpa perlu berpretensi untuk mencari kebenaran teologis dari makna yang dimuatnya. Pembacaan teks al-Qur’an dan Bibel pada tema kecintaan kepada Tuhan (love of God) dan kecintaan kepada tetangga (love of neighbour), seperti yang ditunjukkan oleh “A Common Word”, dengan jelas menggambarkan hal itu.[14]

Apresiasi bernada harapan juga disampaikan oleh Joseph M. Isanga—profesor tamu bidang hukum dan HAM di Ave Maria School of Law Florida Amerika Serikat. Menurutnya, “A Common Word” (2007) telah membuka momentum yang bagus untuk membangun sikap mental salingmemahami dan salingmenghargai di kalangan berbagai komunitas umat beragama di kawasan Af rika, khususnya umat Islam dan umat Kristen. Menurutnya, momentum tersebut harus betul-betul dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk secara bersama-sama membangun sikap mental tersebut. Kuncinya adalah pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Presiden Obama pada saat berpidato di hadapan komunitas Muslim di Kairo Mesir pada tanggal 4 Juni 2009, “all of us must recognize that education and innovation will be the currency of the twenty-first century”. Hanya melalui pendidikan semata, tegas Isanga, sikap mental salingmemahami dan salingmenghargai tadi, khususnya di kalangan generasi muda, bisa dibangun. Afrika harus melakukan investasi besar-besaran untuk kepentingan ini, supaya pendidikan bisa melahirkan sikap mental atau paradigma baru yang menjamin relasi damai antara berbagai komunitas agama di Afrika.[15]

Wallāhu a‘lam.[]

Yogyakarta, 31 Januari 2013.

Muhammad Adib
adalah Dosen STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang.


[1] Naskah lengkap orasi tersebut bisa dilihat pada: http://www.vatican.va (akses tanggal 12 Januari 2013.
[2] “50 Orang Demo Kedubes Vatikan (Rabu, 20/09/2006 14:22 WIB)”, http://news.detik.com (akses tanggal 12 Januari 2013).
[3] “Regensburg lecture”, http://en.wikipedia.org (akses tanggal 12 Januari 2013).
[4] John L. Esposito, guru besar studi Islam dan konteks global serta direktur The Prince Alwaleed Bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding pada Georgetown University, menyatakan bahwa pernyataan Paus Benediktus XVI terkait dengan prinsip dakwah Islam dalam al-Qur’an terhitung tidak akurat dan ahistoris. Lihat: John L. Esposito, The Fiture of Islam, cetakan I (Oxford: Oxford University Press, 2010), halaman 188.
[5] Mereka berasal dari berbagai negara, semisal Mesir, Mauritania, Suriah, Iran, Yordania, Oman, Rusia, Bosnia, Kroasia, Slovenia, Turki, Uzbekistan dan Amerika Serikat. Beberapa nama yang terkenal, di antaranya, adalah Muhammad Sa‘īd Ramadlān al-Būthī (Suriah) dan Seyyed Hossein Nasr (Amerika Serikat).
[6] “Open Letter to Pope Benedict XVI”, dalam http://islamicamagazine.com (akses tanggal 12 Januari 2013).
[7] Mereka berasal dari sejumlah negara, seserti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Inggris, Italia, Swiss, Jerman, Belgia, Kroasia, Rusia, Bosnia Herzegovina, Ukraina, Yordania, Mesir, Maroko, Nigeria, Irak, Iran, Arab Saudi, Suriah, Aljazair, India, Sudan, Tunisia, Pakistan, Malaysia, Indonesia dan Brunai Darussalam. Beberapa nama baru yang populer, di antaranya, adalah Nasaruddin Umar dari Indonesia, Mahatir Muhammad dari Malaysia dan Tariq Ramadan dari Swiss.
[8] Deklarasi tersebut juga dikukuhkan melalui website http://acommonword.com yang diresmikan pada tanggal 10 Okotber 2007.
[9] A Common Word Between Us and You, edisi V (Yordania: The Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2012), halaman 53.
[10] Ibid., halaman 73.
[11] “Christian Responses” dan “Jewish Responses”, http://www.acommonword.com (akses tanggal 12 Januari 2013).
[12] David Ford, “Professor David Ford’s Response to A Common Word”, dalam http://www.interfaith.cam.ac.uk (akses tanggal 12 Januari 2013).
[13] Nicholas Adams, “In Pursuit of a ‘New Secular’: Human Rights and ‘A Common Word’”, dalam Waleed El-Ansary & David K. Linnan (ed.), Muslim and Christian understanding: Theory and Application of “A Common Word”, cetakan I (New York: Palgrave Macmillan, 2010), halaman 177.
[14] Ibid., halaman 176-177. Model pembacaan yang mulai populer di kalangan sejumlah komunitas Kristen, Yahudi dan Muslim di Eropa ini dikenal dengan “scriptural reasioning”.
[15] Joseph M. Isanga, “The ‘Common Word’, Development and Human Rights: African and Catholic Perspectives”, dalam El-Ansary & Linnan (ed.), Muslim., halaman 207 dan 213.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top