Monday, January 9, 2017

Conte adalah Guru Teladan


Oleh: Muhammad Ilyas

Liga Inggris merupakan Liga terpanas di jagad raya. Beberapa bintang dunia berlaga di Negeri Elizabeth ini. Terbukti persaingan liga ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Kejutan demi kejutan pun mengalir begitu deras. Mulai transfer pemain termahal Dunia Paul Pogba dengan angka pembelian fantastik yaitu Rp. 2,1 Triliun. Pelatih terbaikpun didatangkan seperti Conte, Pep Guardian Ola, dan kepindahan The Special One. Selain pelatih, liga Inggris juga penuh kejutan, juara bertahan adalah Leicester City, Club ini tidak diperhitungkan, dan dipandang sebelah mata. Tidak hanya itu kompetisi di liga Inggris penuh dengan drama dan sulit untuk ditebak. Itulah secuil alasan mengapa Liga Inggris lebih menarik dari pada liga lainnya di Dunia.

Karakter Liga Inggris berbeda dengan liga-liga lain di Benua Eropa, seperti LA Liga. LA liga ini kalau di terjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah (bukan liga), yah karena kata LA Liga ini diadopsi dari bahasa Arab. Hal ini memang benar adanya, kompetisi di sini sudah bisa ditebak juaranya sejak dua tahun yang lalu, yah kalau tidak Duo Madred ya Barcelana. Dan hampir menutup kemungkinan klub lain bisa juara, nah teori hegemoninya Gramsci sangat relevan dalam kasus ini.

Sudahlah untuk menjadi benar dan menjadi yang terbaik bukan berarti merendahkan dan menghina liga lain (karena akhir-akhir ini banyak kelompok yang suka menyalahkan yang lain, dengan konsep the other isn’t me). Kita tetap fokus saja pada sosok guru teladan kita, Conte. Beliau datang ke Stanford Bridge saat keadaan kacau balau, dan Chelsea berada di papan tengah Premier League. Komposisi pemain yang sangat sederhana, dan minimnya belanja pemain. Inilah yang menjadi ujian terberat dari sosok Guru Conte.

Jika kita belajar Sosiologi Dasar, kita akan bertemu dengan sosok August Comte yang melahirkan teori positivis. Nah begitu juga Antonio Conte yang membawa efek positif bagi Chelsea hal ini karena terdapat inisial yang sama yaitu sama-sama (AC), nah jika dihubungkan lagi AC (Air Condisioner) adalah alat pendingin ruangan. Jadi kesimpulannya Antonio Conte merupakan guru yang bertangan dingin dan mampu untuk membina anak asuhnya menjadi yang terbaik (gatukisasi ini bukan konspirasi, tapi berdasarkan analisis tajam penulis).

Antonio Conte adalah sosok yang mendapatkan titah langsung untuk membawa Klub Chelsea ke puncak kejayaannya. Beliau adalah sosok yang mampu mengubah kekurangan menjadi kelebihan. Misalnya formasi Chelsea yang tidak lazim di Premier League dengan menerapkan 3-4-3. Formasi ini dianggap tidak sesuai dengan karakter liga Inggris, tetapi pada kenyataannya Chelsea meraih kemenangan demi kemenangan. Inovasi inilah yang harus diakui bahwa Antonio Conte mampu menerawang dan meracik pemain yang baru ia kenal dengan sangat bagus. Hal ini tidak dimiliki oleh pelatih lain, bahkan pelatih sebelah, Pep Guardian Ola.

Yang mulia Antonio Conte juga mampu menempatkan pemain sebagaimana mestinya, atau kita kenal dengan istilah right man in the right place. Beliau mampu membaca karakter Eden Hazard sebagai pemain yang diberi keluasaan tempat, sehingga tidak melulu di kiri, melainkan bisa di tengah dan di mana-mana. Cesc Fabregas juga diberikan peran yang sangat krusial, mengatur serangan, dan memberi suplai bola-bola pada mas Diego Costa untuk menjebloskan ke gawang lawan, hal ini dibuktikan dengan ia menjadi top skor sementara liga ini. Kurang afdal jika tidak membahas peran dari Moses dan Willian, kedua pemain ini bertugas mengobrak abrik pertahanan lawan, ditambah lagi dengan kemampuan Eden Hazard yang sangat memukau, sehingga lawan tak mampu berbuat banyak jika ketiganya ini bergerak, baik dengan bola atau tanpa bola.

Pada intinya kehadiran Antonio Conte merupakan berkah bagi khazanah Pendidikan. Dia ibarat guru yang mampu membawa peserta didiknya from zero to hero. Dan mampu menguasai psikologi anak asuhnya, sehingga mampu bertranformasi menjadi klub yang disegani karena formulasi yang sangat brilian dari tangan sang pelatih. Nah sosok Antonio Conte inilah yang diperlukan bagi dunia pendidikan, tidak perlu input yang bagus untuk mencetak output yang bagus.

Inovasi-inovasi terbaru dan kemampuan sang gurulah yang harus ditingkatkan, dan sebagai perancang dari suksesnya peserta didik inilah guru diuji. Keberhasilan peserta didik adalah suatu kebanggaan tersendiri untuk seorang guru. Hal ini terlihat ekspresi kegembiraan Conte yang meloncat-loncat ketika anak asuhnya menjebloskan bola ke mulut gawang, dan terkadang mengajak penonton untuk lebih bersorak ria, itulah terkadang yang diperlukan. Kita menghargai keberhasilan dan memperbaiki kesalahan, bukan mencela atau menyesatkan seperti para politisi kita.[]


Sumber gambar: l3o_

Sunday, November 27, 2016

5 Keuntungan Menjadi Keamanan Pesantren

pure

Oleh: Halimah Garnasih

Menurut KBBI, kata “keamanan” adala kata benda yang memiliki arti ‘keadaan aman’, turunan dari kata sifat ‘aman’. Pada dasarnya kata ini tidak merujuk makna ‘lembaga’, ‘sebuah profesi’, atau ‘sosok; orang’. Namun, di beberapa Pesantren, kata ini memiliki pergeseran makna. Di beberapa Pesantren tersebut, saat Anda menyebut kata “keamanan”, maka konsep yang ada di benak pendengarnya akan otomatis merujuk pada ‘Divisi’, ‘Profesi’, dan menyempit pada ‘sosok’. Umumnya, kata ini akan mengalami penyempitan lebih dalam lagi pada makna “sosok yang menjadi momok” warga Pesantrennya.

Menjadi Keamanan Pesantren berarti menjadi santri yang paling ditakuti, dibenci, sering dicurigai, sekaligus dicintai. Menjadi Keamanan Pesantren adalah hal yang paling dijauhi, ditakuti, tapi diam-diam sekaligus diharapkan, diimpi-impikan, dan dibangga-banggakan. Kursi jabatan Keamanan Pesantren (selanjutya ditulis ‘Keamanan’) adalah kursi yang sarat kontroversi, polemik, dan guncangan. Kenyataan ini akhirnya menurun pada proses sosialnya dan tentu saja bergayut-kelindan pada ‘sosoknya’.

Banyak yang bilang, menjadi Keamanan itu banyak untungnya. Nah, tulisan ini hadir untuk mengamini asumsi tersebut. Di bawah ini ada lima keuntungan Keamanan terkait posisi yang bisa dipertaruhkannya berdasaran pengalaman kerjanya selama di Pesantren.

Menjadi Jurnalis yang Handal
Tidak tanggung-tanggung, Keamanan tidak hanya memiliki skill menjadi penulis dan peneliti. Lebih dari itu, Keamanan bisa menjemput masa depannya yang penuh tantangan dengan menjadi jurnalis yang handal!

Ini berdasarkan pengalaman panjangnya dalam kerja Keamanan yang tidak mengenal waktu dan tempat, kecuali hari liburan Pesantren tiba. Meski untuk kasus-kasus tertentu kerja Keamanan tidak mengenal hari libur sih.

Keamanan terbiasa mencari data aktivitas para santri dari absen-absen kegiatan pesantren yang super banyak. Setelah mendapatkannya, data-data itu dikelompokkan, lalu diteliti satu per satu. Dalam penelitian ini, Keamanan harus sangat teliti, rinci, dan berhati-hati jangan sampai terlewat satu nama dan satu kegiatan pun!

Hal ini karena berkaitan menentukan nasib seorang santri pada malam Jumat mendatang. Apakah dia akan lolos masuk Kantor Keamanan yang menyeramkan, atau harus mendekam dan menghabiskan malam Jumat nan sakral itu dengan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tubuh gemetaran.

Data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan itu tadi harus melewati tahap selanjutnya, yaitu verifikasi. Dan terakhir, Keamanan siap membuat laporan tertulis sebagai bahan persidangan malam mengerikan bagi para kriminal.

Dan sesungguhnya, dalam tahap akhir itu pun kerja Keamanan belum usai. Dia berpindah mengumpulkan, meneliti, dan mengolah data yang tidak tertulis. Data-data yang datang dari laporan beberapa pihak baik santri, pengasuh, maupun masyarakat sekitar Pesantren. Juga hal-hal kriminal (dalam konteks Pesantren; santri yang melanggar Tata Tertib Pesantren. Kriminal di Pesantren belum tentu kriminal dalam konteks Hukum Negara) yang langsung ditemukan sendiri oleh Keamanan.

Misalnya ya, ini misalnya lo ya: Seorang Keamanan (santri) putri yang mendapatkan surat titipan dari seorang santri putra untuk diberikan kepada santri putri. Kasus ini terkadang yang membuat pertimbangan para santri putra dalam menghafal wajah-wajah Keamanan putri.

Menjadi Intelijen Negara
Tidak jamak diketahui memang, bahwa Keamanan diam-diam memiliki beberapa telik sandi. Mereka datang dari para santri yang mustaqîm, alias lurus dan sungguh tidak menyenangi para santri yang terang-terangan melanggaran peraturan Pesantren. Mereka berkeyakinan, esensi nyantri adalah ngalap barokah. Dan esensi ini akan menjadi berjarak dengan santri apabila mereka melanggar peraturan Pesantren. Karena peraturan Pesantren memiliki turunan dari perintah dan larangan Kiai.

Keamanan yang memiliki bekal menjadi intelijen adalah dia yang cerdas membaca fenomena. Dia terlatih melihat, merekam, membaca dan menyikapi isu-isu Pesantren yang hadir ke permukaan dengan cerdas. Karena bila tidak memiliki kemampuan tersebut, alih-alih mendapatkan aktor-aktor yang bekerja di balik itu semua dan menjaga kestabilan Pesantren, dia akan menjadi korban bentukan isu dan terkecoh oleh para kriminal besar yang menjadi dalang dari semua kerusuhan. Ya, seperti keadaan Jakarta saat ini. Aduh, padahal sudah ngempet-ngempet agar tidak menyentuh perbincangan ini!

Keamanan juga terbiasa dituntut memiliki sudut pandang yang berbeda. Hal ini bukan untuk memosisikan diri di titik oposisi biner dan berhadap-hadapan, tapi bagian dari teknik melihat dengan holistik, juga menjangkau apa yang ada di sana. Sekaligus apa yang ada di sini.

Sebenarnya masih ada lagi. Tapi bagian ini harus unclassified, bila tidak, bisa jadi bentuk-bentuk kriminalitas akan semakin kreatif. Bila hal ini terjadi, Keamanan akan kelimpungan dan dituntut untuk lebih kreatif dalam tekhnik-tekhnik kerja senyapnya. Jadi, energi Keamanan sebenarnya memang perlu dimaksimalkan di titik ini, agar hasrat menyalurkan anarkisme (bila masih ada) sedikit demi sedikit menjadi lunak. Tentu saja disertai mulai menerapkan hukuman yang lebih manusiawi dan memiliki nilai edukasi. Sebuah kesadaran manusia-manusia berperadaban.

Pendeknya, Keamanan berpengalaman dan menerapkan dua kerja sekaligus, yaitu kerja FBI dan kerja CIA!

Menjadi Polisi, Pengacara, dan Hakim
Kerja Keamanan juga adalah kerja tiga profesi di atas sekaligus. Memanggil para saksi untuk dimintai keterangan sudah bagaikan makanan sehari-hari bagi Keamanan. Keamanan dituntut jeli menangkap keterangan para saksi baik keterangan verbal maupun non verbal. Membaca keterangan dari bahasa tubuh dan dari garis-garis di raut muka memang mendorong intelejensi Keamanan menjadi lebih dalam. Mana keterangan verbal yang berbanding lurus dengan bahasa tubuh, dan mana keterangan verbal yang bertolak dengan bahasa tubuh.

Di sinilah Keamana juga sering dihadapkan dengan perilaku metafisis para saksi, tersangka maupun korban. Sambil terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan sarat pancingan, semua indera harus aktif terjaga mengawal keadaan. Akan ada mulut yang tidak henti-henti merapal berbagai amalan yang dipercaya mengecoh atau membungkam Keamananan. Ada jari telunjuk yang bergerak-gerak memilin ujung kain kerudung sambil fokus menatap Keamanan yang dituju agar kehilangan fokus pada subjek, dan pola-pola metafisis lainnya oleh para saksi, tersangka, maupun korban yang dihadirkan.

Dalam menghadapi yang seperti ini, Keamanan juga terbiasa mengamalkan hizib dan mengantongi rajah dan semacamnya sebagai bentuk advokasi metafisis. Ini kelebihan yang barangkali tidak dimiliki Badan Keamanan Negara secara umumnya baik Nasional apalagi Internasional (saat mendapat serangan metafisis, KPK hanya menggunakan jasa, tidak melakukan sendiri). Di sinilah kemampuan intelejensi, emosional, dan spiritualitas Keamanan sangat terasah. Hal ini membentuk pribadi Keamanan sebagai sosok yang berkarakter, matang jiwa-raga.

Melewati proses di atas, Keamanan akan memasuki fase pengolahan keterangan dan memutuskan sebuah putusan. Di titik ini, ketegasan tanpa memandang bulu, dan kebijaksanaan harus mampu dihadirkan dari jiwa seorang Keamanan. Menjadi sosok yang bijak dengan mendasarkan keputusan sebuah putusan hanya dari simpul putusan dan mengacu pada limitasi, berkas Tatib Pesantren. Semacam UUD nya Pesantren lah ya.

Menjadi Pemimpin
Keamanan telah terbiasa pandai mengorganisir waktu, juga antara yang pribadi dan yang umum, bahkan di beberapa titik seringkali merelakan kepentingan pribadinya demi mengutamakan kepentingan umum. Kerja Keamanan harus terus berlangsung sementara kewajibannya sebagai santri dan peserta didik tetap menjadi tanggung jawabnya.

Ketika santri masih nyenyak tidur, Keamanan harus bangun terlebih dulu demi memastikan para santri telah bersiap melaksanakan salat jamaah saat pengasuh sebagai imam subuh telah rawuh di Musalla. Saat para santri telah mulai mengistirahatkan kedua matanya, Keamanan harus tidur lebih akhir untuk mengontrol keadaan santri dan Pesantren di malam hari. Saat santri nyaman belajar dan menghafal nazam di sela-sela kegiatan, Keamanan harus cerdik nyambi hafalan di tengah proses investigasinya. Bahkan, seringkali harus terjaga sampai menjelang subuh karena kasus-kasus besar sedang ditangani.

Manajemen dan skill organizing-nya sudah tidak perlu ditanyakan. Pengalamannya melayani umat telah mengasah jiwa Keamanan sebagai jiwa yang rela berkorban. Satu di antara hal esensial yang harus dimiliki seorang pemimpin!  Dan yang terpenting, pelayanannya untuk Pesantren menjadikannya santri yang dihujani barokah. Bersama barokah dari sang Guru, kerja kepemimpinanya akan senantiasa dikawal oleh kerelaan dan doa-doa. Bertabur barokah.

Menjadi Insan Kamil
Insan kamil atau manusia sempurna adalah istilah sarkasme yang ditujukan untuk Keamanan. Hal ini datang karena anggapan: benar atau salah Keamanan tetap benar. Keamanan luput dari proses hukuman. Bersamaan dengan itu, hal sebaliknya tertanam dalam kesadaran Keamanan: Salah atau benar, Keamanan selalu dipandang salah, seperti tidak ada benarnya di mata santri. Bilamana keliru, maka hujatan dan caci-maki akan datang bertubi-tubi. Bilamana berada pada jalur, bagaikan angin lalu. Bilamana berhasil mencetak prestasi kerjanya, itu memang menjadi sewajarnya.

Kenyataan di atas sesungguhnya menjadi bagian dari faktor yang menghantarkan Keamanan menjadi Insan Kamil (dalam arti yang sesungguhnya). Kontrol sosial yang dahsyat terhadapnya, dapat menjadi rambu-rambu dalam menjalani aral hidupnya di Pesantren. Jangankan meleot beneran, hanya akan meleot saja, rambu-rambu lekas berganti warna merah dan berbunyi nyaring sekali dan datang dari segala arah.

Selain menjadi kontrol sosial, kedua hal di atas akan membawa Keamanan pada titik berkontemplasi tentang keberadaannya di dunia Pesantren. Lalu bergerak lebih jauh, masuk pada spektrum yang lebih luas: kehidupan itu sendiri. Ia mulai melakukan perjalanan pikir dan batin dan menemukan muaranya. Akhirnya ia berjalan menemukan muara bukan karena kedua hal di atas. Bukan pula karena Tatib Pesantren. Apalagi terjebak pada ketakutan normatif: Kabura Maqtan ‘Indallaahi.

Allaahu A’lam.

Malang, 25-26 November 2016

sumber gambar: somewhere @ pure dreams

Saturday, November 26, 2016

Sepucuk Surat Untuk Luqman al-Hakim

important letter

Oleh: Muhammad Zamzami

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Salam kenal dariku, wahai orang yang telah dikaruniai Hikmah dari sisiNya, yang belum pernah sama sekali Ia berikan kepada hamba-hambaNya yang lain, sehingga Ia mengabadikan pemberian itu dalam salah satu firman suciNya, Luqman al-Hakim.

Memang jarak waktu antara kau dan aku terlampau sangat jauh sekali. Ada yang bilang kau hidup pada masa Nabi Ibrahim AS., ada yang bilang pada zaman Nabi Dawud, dan ada juga yang bilang kau semasa dengan nabi Ayub AS. Tak hanya itu, orang-orang bilang kau berprofesi sebagai seorang hakim yang amat adil di kalangan Bani Israel, ada yang bilang sebagai tukang kayu, tukang jahit, bahkan ada juga versi lain bahwa kau adalah seorang budak yang dibeli dari Habsyah.

Betapa pun banyak versi tentang profesi dan kedudukanmu sebagai manusia, seperti yang mereka katakan tentangmu, aku sama sekali tidak peduli. Yah, diakui atau tidak kau memang hanya seorang manusia biasa, tak lebih sama denganku dan orang-orang di sekitarku ini. Namun ada hal dari dirimu yang tak bisa kudapatkan dari mereka. Yaitu wasiat-wasiatmu kepada anakmu, Taran. Entah berapa wasiat yeng telah dicatat oleh para penggemarmu, yang kau ucapkan kepada anakmu itu.

Mohon maaf jika aku lancang mengirimkan surat ini padamu. Aku hanya bingung dengan wasiatmu yang berbunyi:

يا بني، جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك، فإن الله يحي القلوب بنور الحكمة كما يحي الأرض الميتة بوابل السماء

Bukankah itu adalah wasiatmu kepada anakmu? Tentu saja kau tidak main-main dengan ucapanmu itu, kan? Juga tak hanya anakmu yang kau inginkan untuk mengamalkannya, tapi juga generasi-generasi setelahnya, kan? Jika memang iya, lantas kenapa sekarang situasinya terbalik?

Hanya sekadar klarifikasi. Di sekitarku saat ini, kalau saja kau tahu, banyak sekali ulama. Mereka adalah orang-orang yang tak diragukan lagi akan kefakihannya, mereka juga orang-orang yang amat sangat terpandang di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, mereka bahkan memilki banyak penganut (bahasa kami menyebutkannya dengan santri), termasuk juga aku.

Dalam wasiatmu kau mengatakan: “dekatilah para ulama sedekat-dekatnya, agar hatimu hidup dengan siraman hikmah dari mereka layaknya tanah yang tandus menjadi subur dengan turunnya hujan”. Kami sangat setuju sekali dengan wasiatmu itu dan sama sekali tidak meragukan akan kebenarannya. Namun, apakah kau tahu bahwa sekarang situasinya sudah tak seperti zamanmu dulu? Ketika kami hendak mendekati mereka (Ulama), malah bukannya kami mendapat setetes hikmah pun dari mereka, tapi malah mereka yang tak mau untuk kami dekati. Mereka menjauh dari kami dan mereka enggan bersahabat dengan kami.

Aku tak tahu yang mana yang salah, apakah mereka bukan Ulama yang kau maksud, apakah ulama yang kau katakan dalam wasiatmu itu sudah tak ada lagi saat ini, di zamanku ini? Ataukah ucapanmu yang meleset, alias sudah tak berlaku lagi sekarang? Ataukah mungkin secara diam-diam kau mengatakan kepada mereka: “Aku sudah berwasiat seperti ini pada anakku agar dia sebarkan kepada generasi-generasi setelahnya, kalau kalian didekati oleh mereka, jangan mau. Jauhi saja mereka yang tak sopan, hindari mereka yang bukan dari golonganmu, dan jangan hiraukan mereka biar mereka kebingungan. Untuk apa kalian mau didekati oleh orang-orang yang tak pantas mendapat hikmah?”

Tentu saja kami yakin bahwa kau bukan orang yang seperti itu. Toh, mana mungkin orang sepertimu, yang telah dimuliakan dalam firmanNya, melakukan hal yang sedemikian hinanya kepada kami? Sebab yang kami tahu, kau adalah orang yang sangat istimewa, orang yang memang memiliki kelebihan berupa anugerah Hikmah yang amat agung dariNya, dan orang yang senantiasa memberi nasehat kepada keadilan dan condong kepada keridaanNya. Meski pun banyak versi cerita tentangmu yang mengatakan bahwa kau itu adalah orang yang berprofesi sebgai tukang kayu lah, tukang jahit lah, budak lah, atau apapun itu aku sama sekali tak perduli akan kebenaran hal itu. Yang aku tahu kau adalah orang pilihan yang dekat denganNya. Dan aku hanya ingin mengklarifikasi wasiatmu tadi, kok situasinya bisa kebalik saat ini, yakni masa di mana kami para generasi ini hidup.

Mungkin hanya itu saja yang ingin aku sampaikan padamu. Sekali lagi jika kau menganggap aku kurang sopan mengirimkan surat ini, entah itu kata-katanya, sikap yang tercermin dari bentuk tulisannya, atau bahkan pikiranku ini yang mungkin kau anggap tak layak melintas di otakku, aku benar-benar minta maaf. sebab mau bagaimana lagi, aku sudah tak tahan dengan perilaku mereka.

Aku tunggu balasan surat ini darimu, Luqman al-Hakim.


Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

sumber gambar: Slim Teller

Wednesday, November 23, 2016

Lorong Bahagia

happiness

Oleh: Samara

Angin berhembus menyibak fatamorgana di pagi hari. Bisikan pohon rindu terdengar halus di telinga. Kulalui jalan setapak, melewati kelas-kelas yang masih kosong. Langkahku terhenti di depan TU MAN Gondanglegi yang sedang terbuka, kulihat tumpukan kardus yang berisi majalah OASE. Hmmm, ini kan nanti pembagian majalah. Kenapa majalah masih disini semua, gumamku dalam hati. Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku melihat Aziza salah satu redaktur majalah.

“Za, mindahin majalah yuk, biar ntar enak kalo pas pembagian majalah.”

“Boleh. Yakin nih cuma berdua?

Yakiinnnnnn....” Jawabku.

Kami mulai memindahkan majalah ke ruang jurnalis yang tak jauh dari ruang TU, hanya terpisah oleh musalla saja. Sedikit cerita, ruang jurnalis yang kami tempati tidak lebih luas dari ruang kelas yang ada di sekolah kami. Namun, ruangan inilah yang mampu memberikan warna-warni dalam kehidupanku, khususnya di bidang jurnalisme. Dalam ruangan ini saya belajar banyak hal, mulai dari cara bersosialisasi, cara menyatukan perbedaan dan masih banyak lainnya. Aku terus menata majalah sesuai dengan jumlah kelas yang ada. Seiring berjalannya waktu semakin banyak yang berdatangan ke ruang jurnalis. Entah itu redaktur yang datang untuk membantu atau perwakilan kelas yang datang untuk mengambil majalah.

Biasanya mereka datang berdua atau bertiga, tapi kali ini lain. Aku dikagetkan dengan segerombolan siswa-siswi yang berjalan menghampiri ruang jurnalis. Sepertinya kalau dilihat dari badge yang berwarna kuning mereka kelas XI sama denganku. Ah, rupanya benar dugaanku, mereka personil XI Agama yang melakukan pembelajaran di musalla. Memang ketika pelajaran Ushul Fiqh mereka sering di musalla untuk mempermudah proses pembelajaran. Anehnya mereka tidak segera masuk ke dalam musalla, mungkin karena guru belum datang. Yah, beginilah memang anak SMA. Bukan segera masuk ke musalla mereka malah memenuhi ruang jurnalis.

“Ra, Ga capek apa tiap hari mengurus majalah melulu?” Iqbal, teman kelasku, melontarkan pertanyaan ini padaku.

“Enggak lah, kalau sudah hobi pasti asyik.

Ra ini ya, Ra itu yaa. Dan masih banyak lagi obrolan yang kami lakukan di sana.

Selang beberapa menit, pak Lukman sudah datang menuju musalla. Seketika itu juga ruangan jurnalis serasa sepi dari pendemo.

“Ra....” Sapa beliau padaku ketika melintasi ruang jurnalis saat hendak menuju musalla.

“Iya, Pak.” Aku menjawab sambil tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai tanda rasa takzim kepada beliau.

Setelah sapaan itu dan beliau berlalu menuju musalla, aku merasakan sebuah perasaan yang tak nyaman. Bagaimana tidak, aku ada di ruang jurnalis tepat di teras, sedangkan pelajaran kelasku sudah dimulai di dalam musholla. Jelas terlihat aku sedang ada di luar. Saat ini aku benar-benar memutar otak antara melanjutkan aktivitas di ruang jurnalis atau meninggalkan ruangan dan menuju musalla mengikuti pelajaran yang berlangsung. Ah, benar-benar pilihan yang sulit. Sebenarnya kalau aku menuruti kemauanku yang malas ada di dalam ruangan kelas, aku akan lebih memilih tetap tinggal di ruang jurnalis dan melakukan hobiku. Yah, aku rasa ini lebih menyenangkan. Tapi tunggu, pikiranku berubah.

“Za, di kelasku pelajaran deh tuh kayaknya. Aku kekelas ya.”

Oke. Gak masalah. Lagian ini sudah mau selesai kok.”

Aku mengambil tasku di ruang jurnalis dan menuju musalla untuk mengikuti pelajaran Ushul Fiqh. Aku ada di barisan paling belakang di sebelah jendela. Menurut banyak argumen, posisi ini memang posisi favorit bagi semua kalangan. Aku menghayal memikirkan banyak hal hingga tak terasa aku tidur selama pelajaran berlangsung. Setengah jam lebih aku tidur, aku terbangun karena aku mendengar suara yang tak jauh dariku. Rupanya itu pak Lukman yang sedang menelapon seseorang, entah siapa yang beliau telepon hingga berdiri tepat di depanku.

“Ayo berangkat! Mana temanmu, Wahidah sama Ahmad?”

“Oh, iya, Pak. Saya cari dulu.”

Rasanya aku seperti sedang ada dalam dunia mimpi. Aku berkhayal untuk keluar dari kelas beberapa menit yang lalu dan akhirnya itupun terjadi dalam sekejap. Aku tahu sekarang, Pak Lukman sedang menelepon informan yang ada di Sitiarjo. Ketika beliau bilang berangkat aku sudah paham bahwa yang beliau maksud adalah berangkat menuju desa Sitiarjo yang ada di kecamatan Sumbermanjing untuk mengujungi salah satu informan penelitian yang kita butuhkan. Saat ini aku dan kedua temanku, Wahidah dan Ahmad, memang sedang mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah dalam pekan Kompetisi Sains Madrasah. Kami bertiga dibimbing oleh bapak Lukman. Kami menghabiskan banyak waktu bersama di dalam dan di luar jam sekolah untuk menyelesaikan penelitian ini. Bagi peneliti yang notabene masih SMA suasana hati yang baik sangat menentukan bagi kelangsungan penelitian yang kami garap. Oleh sebab itu, tak jarang di sela-sela proses penyelesaian kami berbagi cerita dan saling memberikan solusi.

Suasana kali ini berbeda. Dengan mengendarai Elf sekolah kami bisa mengajak beberapa orang yang dibutuhkan untuk membantu kelangsungan proses. Biasanya mobil hanya terisi oleh kami berempat, sekarang berisi 7 orang. Ada Arif teman kelasku yang kita mintai tolong untuk mengambil gambar saat proses wawancara, ada Pak Wahyu yang menyetir mobil Elf dan juga Aurel putri dari pak Wahyu yang masih kecil. Berapapun isi mobil ini dan siapapun yang ikut aku tak peduli, karena yang saya rasakan sekarang adalah kebahagiaan yang tak bisa kuluapkan hanya sekadar dengan kata-kata. Sekarang kami menuju kantor Kepala Desa Sitiarjo, tidak seperti biasanya Pak Lukman hanya turun seorang diri dan membiarkan kami tetap di dalam mobil. Dari dalam kaca mobil aku melihat Pak Lukman sedang berbincang-bincang dengan kepala desa dan kemudian menuju Elf kembali.

“Lurus terus Pak, nanti kita berhenti di rumah yang ada di sebelah lapangan.” Begitu yang diucapkan Pak Lukman ketika masuk kembali ke dalam mobil.

“Kita sekarang ke rumah salah satu tokoh kristen yang ada di desa ini. Jangan lupa instrumen wawancaranya ya.” Pak Lukman melanjutkan ucapannya.

Setelah mendengar ucapan beliau, sontak kami bertiga saling bertatap muka. Tidak perlu ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Cukup ekspresi ini yang mewakili sebuah pertanyaan, “Siapa yang akan mulai wawancara?”

“Ayolah, Mad. Ini bagianmu,” pintaku kepada Ahmad

“Ah, mana bisa?! Gantian lah. Kemarin aku sudah, kalian kan belum.

Lagi-lagi ini keputusan berat. Memang benar yang Ahmad bilang, sekarang giliranku dan Wahidah. Aku menyayangkan jika harus Wahidah yang mengambil bagian ini karena dia cukup baik dalam menulis hasil wawancara. Jika dia yang ambil bagian ini otomatis aku yang akan menulis hasilnya.

“Okelah. Aku yang wawancara sekarang.”

Kami turun dari mobil dan menuju rumah Pak Woesgyanto namanya.

“Silakan masuk. Bapak masih di belakang,seorang wanita separuh baya mempersilakan kami masuk.

Kami semua menunggu kedatangan beliau. Sambil menunggu aku tak punya keinginan untuk mematangkan apa yang akan aku tanyakan kepada beliau. Bukannya mengobrol yang bermanfaat, kami malah mengobrol ngalor-ngidul tidak jelas.

“Sudah lama menunggu?” Dari dalam terdengar suara seorang laki-laki. Orang tersebut berbicara sembari menghampiri kami di ruang tamu dan berjabat tangan.

Dalam benakku aku mengatakan bahwa beliau ini yang namanya pak Wusgyanto, salah satu tokoh Kristen desa Sitiarjo. Dari fisiknya dan caranya berbicara terlihat bahwa beliau tokoh agama yang tegas dan disiplin.

“Ra, ini kayaknya mirip sama orang yang pernah kamu ceritain itu deh.” Wahidah membuka pembicaraan denganku.

“Asli mirip banget dah. Aku meerasa benar-benar ada di masa lalu lagi dah.”

Wahidah tertawa cekikikan. Siapkan mental ya. Aku berdoa semoga trauma di masa lalu enggak terulang lagi.

Memang ketika beliau datang rasanya seperti de javu alias sebuah peristiwa yang seakan pernah terjadi di masa lalu dan sekarang terulang kembali. Aku memang pernah menceritakan peristiwa di masa kecilku kepada Wahidah dan Ahmad. Di saat masih kecil ada satu tetangga yang sangat aku takuti karena dia selalu menakutiku ketika aku bersikap tidak baik. Peristiwa itu masih sangat membekas dalam ingatanku. Dan sekarang aku harus berhadapan kembali dengan rasa takut itu.

“Silakan dimulai.” Pak Lukman langsung memberi perintah kepadaku ketika Pak Lukman sudah selesai menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami.

Ah, ini ketiga kalinya aku harus berpikir keras dalam satu hari ini. Kesalahanku yang tidak mempersiapkan instrumen dengan jelas membuatku bingung, ditambah lagi Pak Lukman yang terus menatapku memberikan sinyal perintah untuk segera dimulai. Aku kebingungan, haruskah aku mulai menanyakan nama dalam wawancara ini secara formal seperti yang biasa aku lihat dalam acara TV, tapi diawal tadi beliau sudah menyebutkan nama. Aku bingung dengan diriku sendiri. Tidak biasanya aku bersikap kaku begini. Apa karena rasa takut yang berlebihan?

Belum sampai aku menanyakan satu hal tiba-tiba orang di sekitarku menghilang satu persatu. Aku melihat pak Lukman perlahan menghilang dari pandanganku, Wahidah yang semula ada di sampingku kini entah kemana. Semuanya menghilang, termasuk suguhan makanan dan minuman yang ada di depanku. Aku sendiri di dalam rumah ini, penglihatanku terus mencari-cari sesuatu yang dapat kutemukan di sekitarku. Tapi nihil karena aku tak menemukan apa yang semula ada. Rasanya aku ingin menangis, aku ingin menjerit sekuat mungkin agar mereka mendengarku dan kembali. Apa yang sedang terjadi pada diriku? Aku merasakan suhu tubuhku meningkat dan kepalaku terasa berat sekali. Selanjutnya bobotku sangat ringan kurasakan bahkan lebih ringan dari angin sehingga tanpa terasa aku melayang-melayang.

Tapi tunggu, aku dapat tersenyum sekarang. Aku melihat lorong yang tak pernah aku lihat, lorong itu sangat indah sekali. Lorong itu memancarkan sebuah cahaya terang. Aku semakin bingung, kenapa di rumah ini ada lorong rahasia yang penuh dengan cahaya terang. Aku terus memandangi lorong itu semakin dekat semakin indah sekali. Aku tersenyum dan terus melangkahkan kaki. Subhanallah, gumamku dalam hati. Tidak hanya cahaya yang berkilauan, setelah aku mendekat lorong itu semakin menampakkan keindahannya. Tanaman hijau dan bunga-bunga yang harum semerbak mewangi.

“Ra! Ra! Zahra!”

Jelas sekali aku mendengar ada yang memanggilku. panggilan itu diulang-ulang. Aku terus mencari sumber suara itu. Sekarang tubuhku seperti digoncang dengan kuat.

“Zahra sudah sadar, zahra sudah bangun!Teriak Wahidah.


Suara Wahidah jelas sekali di telingaku. Aku perlahan membuka mata dan aku melihat pemandangan yang semula aku lihat. Ah, rupanya aku sedang jatuh pingsan. Tak apalah, aku sudah merasakan lorong kebahagiaan.[]

Sumber gambar: Le bonheur, c'est quoi?
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top